Senin, 27 Juni 2016

Tentang Vaksin


 Utk istilah kedokteran, Vaksin fungsinya utk meningkatkan antibodi . Bahan vaksin adalah mikroorganisme yg hidup tp sdh dilemahkan atau ada yg dimatikan. Mikroorganisme yg dimaksud bisa berasal dari bakteri(vaksin BCG utk TBC), virus (vaksin polio, vaksin meningitis) uparasit (vaksin anti malaria tp sampai sekarang belum berhasil dibuat). Mudah2an sedikit penjelasan mengenai vaksin bisa menambah pengetahuan. Kalau penjelasan mengenai antibodi ada kuliahnya tentang imunologi. Sedikit2 nanti saya inginkan

 Jika vaksin hidup harus disimpan ditempat dingin antara 4-10 derajat Celcius.

 Masih banyak kejadian di lapangan yg tidak disampaikan secara lugas, terutama terkait dengan cold chain:
1. Banyak puskesmas dan nakes yg menyimpan vaksin di kulkas biasa. Padahal seharusnya disimpan di kulkas khusus vaksin yg ada alarm suhunya.

2. Nakes atau ibu2 aktivis di posyandu membawa vaksin dalam termos2 yg pendinginannya menggunakan es batu. Padahal suhu vaksin tidak boleh lebih dari 8 derajat.

3. Nakes tidak mengetahui adverse effect dari vaksin.

4. Insert package tidak pernah atau jarang sekali ditunjukkan dan dijelaskan ke masyarakat. Padahal ini adalah hak masyarakat.

5. Pemberian vaksin seringkali tidak melihat kondisi kesehatan calon penerimanya.

Ana yakin masih banyak lagi yg bisa digali untuk memperbaiki program kesehatan pemerintah. (Afif abd. dan Umi C.)


Vaksin Yang Palsu


Cerita ini beredar di group WA, dari seorang perawat temanku dulu di RS Carolus yg bekerja se kantor dgn Hidayat di poliklinik Yamaha - Cakung.

Hidayat dan Rita ke2nya berprofesi sbg perawat.
Dulu Hidayat bekerja sbg perawat di poliklinik Yamaha - Cakung & Rita bekerja sbg perawat di RS Hermina Bekasi.
Rita adalah otak penggagas pembuat vasin palsu.
Diawali dgn mengumpulkan flacon2 bekas vaksin yg kmd dipakai sbg wadah vaksin palsu.

Sejak 2003, vaksin palsu mulai dijual ke klinik2 swasta sekitar bekasi & pihak klinik percaya Rita mndapatkan vaksin itu dari distributor pabrik sesuai merk - krn Rita bekerja di RS besar.
Lama kelamaan Rita dan Hidayat makin banyak menerima order dan mulai merambah luar kota lalu ke luar pulau, tersebar di seantero Indonesia .. (makanya kita jangan suka tergiur dgn barang merk bagus tp harga murah)
Baru 1 tahun yg lalu Hidayat resign  dr poliklinik Yamaha dgn alasan mau membantu usaha isterinya ..

Rumahnya di Kemang Pratama di atas tanah 500m2 lengkap dgn kolam renang.
Gaya hidup mereka sangat mewah tp penampilan mereka tetap santun dan agamis.
Namuuunnn, semua itu mereka dapatkan dgn cara yg sangat jahat. Menipu dengan mencelakai bayi2 !!!

Untuk amannya, yg punya bayi sejak tahun 2005 - 2015 disarankan agar mengecek ulang ke tempat bayi2/anaknya divaksin. RS atau klinik akan melihat catatan dari distributor mana vaksin itu berasal, shg bisa ditentukan apakah anak tsb korban vaksin palsu atau tidak.
Jika ya, kmd bawa bayi / anak ke dokter sps anak untuk minta penjelasan apakah si bayi / anak perlu vaksin ulang atau tidak.

Kandungan vaksin itu sendiri tidak berbahaya fatal.
Yg lebih berbahaya adalah jika si bayi / anak terinfeksi virus atau kuman penyakit2 yg tadinya hendak dikebalkan oleh vaksin2 yg dimaksud.
Jadi, nggak apa2 divaksin ulang.

Demikian mbak2 .. selamat ber-siap2 mudiiiikkkkk ... 😃
[6/26, 4:08 PM] ‪+62 857-1770-7423‬: Just copas:

7 ALASAN TIDAK PERLU KHAWATIR ATAS BERITA VAKSIN PALSU
1. Jika anak Anda mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah, vaksin disediakan oleh Pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi. Jadi vaksin dijamin asli, manfaat dan keamanannya.
2. Jika anak Anda mengikuti program Pemerintah yaitu Imunisasi Dasar Lengkap diantaranya Hepatitis B, DPT, Polio, Campak, BCG; pengadaanya oleh Pemerintah didistribusikan ke Dinas Kesehatan hingga ke fasyankes. Jadi dijamin asli, manfaat dan keamanannya.
3. Jika peserta JKN dan melakukan imunisasi dasar misalnya Vaksin BCG, Hepatitis B, DPT , Polito dan Campak; pengadaan vaksin didasarkan pada Fornas dan e-catalog dari produsen dan distributor resmi, jadi asli dan aman
4. Ikuti program imunisasi ulang seperti DPT, Polio, Campak. Tanpa adanya vaksin palsu, imunisasi ini disarankan (harus) diulang. Jadi bagi yang khawatir, ikut saja imunisasi ini di posyandu & Puskesmas.
5. Diduga peredaran vaksin palsu tidak lebih dari 1% di wilayah Jakarta, Banten dan Jawa Barat. Ini relatif kecil secara jumlah vaksin yang beredar dan wilayah sebarannya.
6. Dikabarkan isi vaksin palsu itu campuran antara cairan infus dan gentacimin (obat antibiotik) dan setiap imunisasi dosisnya 0,5 CC. Dilihat dari isi dan jumlah dosisnya, vaksin palsu ini dampaknya relatif tidak membahayakan.
7. Karena vaksin palsu dibuat dengan cara yang tidak baik, maka kemungkinan timbulkan infeksi. Gejala infeksi ini bisa dilihat tidak lama setelah diimunisasikan. Jadi kalau sudah sekian lama tidak mengalami gejala infeksi setelah imunisasi dapat dipastikan aman. Bisa jadi anak Anda bukan diimunisasi dengan vaksin palsu, tetapi memang dengan vaksin asli.

Kesimpulannya:
Hati-hati itu harus, tapi berita vaksin palsu tidak perlu disikapi berlebihan dan merasa khawatir yang tak beralasan. Maraknya berita tidak mencerminkan maraknya fakta peredaran vaksin palsu.

Vaksin Asli


Ditegaskan oleh Menteri Kesehatan RI Prof dr Nila Djoewita Moeloek dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR, Senin (27/6/2016).
Ia memaparkan dalam poin-poin pernyataan resmi bahwa ada hasil investigasi terbaru terkait peredaran vaksin ilegal, di antaranya:

1.   Vaksin Bio Farma tidak ada yang dipalsukan karena menurut pengakuan pelaku yang tertangkap, vaksin Bio Farma hanya digunakan untuk oplosan pembuatan vaksin palsu. Vaksin yang dipalsukan hanya vaksin impor yang harganya mahal, yaitu vaksin produksi Sanofi Pasteur dan GSK
2.   Jenis vaksin ex Bio Farma yang dipakai sebagai oplosan adalah Hepatitis B dan Campak. Sementara jenis vaksin impor yang dipalsukan adalah:
a.   Vaksin Engerix-B (untuk anak dan dewasa) yaitu vaksin untuk Hepatitis B
b.   Vaksin Havrix 720 yaitu vaksin Hepatitis A
c.    Vaksin Pediacel yaitu vaksin kombinasi untuk Pertusis, Difteri, Tetanus, Hib dan IPV

Untuk itu masyarakat diharapkan tenang dan tetap percaya bahwa vaksin yang dipakai untuk program vaksinasi wajib oleh Pemerintah VAKSIN nya ASLI.
Jika anak Anda mendapatkan imunisasi di Posyandu, Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah atau  mengikuti program Pemerintah yaitu imunisasi dasar lengkap yaitu vaksin Hepatitis B, BCG,  DPT-Hib-Hb, Polio dan Campak, maka vaksin disediakan oleh Pemerintah yang didapatkan langsung dari produsen dan distributor resmi didistribusikan ke Dinas Kesehatan hingga ke fasyankes. Jadi vaksin dijamin asli, manfaat dan keamanannya.

Sabtu, 25 Juni 2016

Asam Urat, Bekam dan Herbalnya

Asam Urat, Bekam & Herbalnya.

Penyakit Asam Urat (gout) adalah penyakit di mana terjadi penumpukan asam urat dalam tubuh secara berlebihan, baik akibat produksi yang meningkat maupun pembuangannya melalui ginjal yang tidak sempurna, atau bisa juga dikarenakan akibat peningkatan asupan makanan yang kaya zat purin.

Gout terjadi ketika cairan tubuh sangat jenuh akan asam urat karena kadarnya yang tinggi. Penumpukan tersebut menimbulkan nyeri yang mengganggu aktivitas sehari-hari.

Purin yang berbentuk kristal dihasilkan akibat proses metabolisme tubuh (ginjal) yang gagal dalam menetralisasi makanan (darah) yang banyak mengandung purin seperti sayur bayam, kangkung, kacang-kacangan, daging, jeroan, ikan sarden dllnya.

Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia, pada semua ras manusia.
Gout jarang ditemukan pada wanita, sekitar 95% penderita Gout adalah kalangan pria terutama yang berusia 40 tahun keatas yang mengalami obesitas dan ketergantungan kepada alkohol.

Gejala Asam Urat.
1. Pada tahap awal kenaikan kadar asam urat dalam darah, tidak terdapat gejala apapun.
2. Selang beberapa waktu, terjadi pengendapan kristal asam urat dipersendian sehingga menimbulkan rasa nyeri yang hebat.
3. Selang beberapa waktu kemudian, terjadi radang sendi yang banyak mengandung endapan asam urat, terutama pada persendian telapak kaki kecil yang disebut arthritis gout (gouty arthritis).
4. Setelah mengalami peradangan, sendi memerah, panas, nyeri, dan bengkak (paling banyak terjadi pada telapak kaki, terutama pada sendi pangkal ibu jari kaki) dalam beberapa kasus, gejala semakin hebat sehingga penderita gout tidak bisa memakai kaus kaki dan sepatu.
5. Terlalu sering berjalan kaki atau benturan kecil pada sendi dapat memperparah rasa nyeri pada pesakit asam urat.

Komplikasi Penyakit Asam Urat :
Batu Ginjal / Gagal Ginjal dan Jantung Koroner.

Salah satu fungsi ginjal adalah membersihkan darah dan mengeluarkan zat-zat yang merugikan bagi tubuh seperti urea, asam urat, amoniak, creatinin, garam anorganik, bakteri, dan juga obat-obatan. Jika zat tersebut tidak dikeluarkan maka akan menjadi racun yang dapat membahayakan kesehatan di dalam tubuh.

Ginjal juga berfungsi untuk mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dalam cairan tubuh dengan cara mengeluarkan kelebihan asam/basa melalui urine.

Untuk kasus penyakit asam urat apabila kadar asam urat dalam darah semakin tinggi, berarti semakin parahlah kondisi ginjal, ginjal yang semakin parah / lemah kondisinya ini pada ahirnya dapat memicu pembentukan batu ginjal yang ujung-ujungnya juga dapat mengakibatkan penyakit gagal ginjal.

Dalam jangka panjang pembentukan kristal asam urat yang terus menerus oleh tubuh (kristal asam urat yang berbentuk jarum / pedang yang tajam sebelum mengendap di sendi-sendi tulang juga ikut bergerak bersama darah keseluruh tubuh) dapat juga merusak lapisan bagian dalam pembuluh darah koroner pada jantung yang akan mengakibatkan penyakit gagal jantung.

Herbal Thibbun Nabawi apa saja yang bisa digunakan ?
1. Habbatus Sauda (Jintan hitam), dikonsumsi dan minyaknya dioleskan pada kaki yang lumpuh, karena ia merupakan obat untuk segala macam penyakit.
2. Minyak Zaitun dikonsumsi, berkhasiat untuk menurunkan kelebihan lemak jahat yang biasanya mengiringi pasien “Asam Urat”.
3. Air zam-zam diminum, diberikan apabila penyakit ini sudah disertai kerusakan pada fungsi ginjal yang parah.

Adapun herbal umum yang dapat membantu antara lain adalah :
1. Sari Teripang (Gamat) dan Spirulina.
2. Sirsak, dimakan begitu saja atau dijuice, dimakan/minum tiap hari.
3. Daun salam 7 lembar direbus dengan dua gelas air, sampai tinggal 1 gelas, diminum pagi dan sore.
4. Cuka apel yang sudah jadi dan dicampur madu dengan ukuran satu sendok madu ditambah 2 sendok makan cuka apel plus air hangat 50 cc dan diminum selama 1 minggu, pagi setelah bangun tidur dan malam hari sebelum tidur.
5. 60 gr akar sidaguri dicuci bersih, direbus dengan 3 gelas air sampai tersisa 1 gelas, minumlah 1/2 gelas pagi dan 1/2 gelas pada sore hari.

Efek Bekam terhadap Penyakit Asam Urat.
1. Bekam bisa mengeluarkan kristal asam urat dari persendian dan jaringan di sekitarnya, sehingga rasa nyeri berkurang dan tidak terjadi peradangan, warna merah dan pembengkakan pada persendian secara perlahan-lahan akan menghilang.
2. Zat Nitrit Oksida (NO) yang muncul akibat / efek dari pembekaman juga berfungsi mengurangi pembengkakan sendi yang sakit.
3. Zat Prostaglandin yang muncul akibat / efek dari pembekaman di tempat yang sakit juga mengurangi rasa sakit dari penyakit.
4. Bekam dapat memicu sekresi Zat Endorfin dan Enkefalin di dalam tubuh yang berfungsi sebagai pereda nyeri bawaan tubuh.
5. Bekam meredakan rasa nyeri dengan Gate Control Theory.
6. Jika ada masalah lain di dalam tubuh, yang menjadi penyebab terjadinya asam urat, seperti sakit ginjal, maka terapi bekam membantu meningkatkan kemampuan kerja ginjal dalam mengeluarkan Kristal asam urat di dalam urin.

Penting untuk diperhatikan:
1. Untuk mengurangi kristal asam urat di persendian, tidak bisa dilakukan melalui sekali pertemuan terapi bekam, namun diperlukan beberapa pertemuan, kadang-kadang mencapai tujuh kali pertemuan dengan interval waktu seminggu sekali.
2. Untuk memberikan dampak positif pada terapi bekam, haruslah disertai disiplin dalam mengkonsumsi berbagai jenis makanan yang rendah kandungan asam urat serta menghindari konsumsi berbagai jenis daging merah dan kol.
3. Minum obat-obatan yang mengurangi kandungan asam urat bisa membantu terapi bekam, karena obat-obatan tidak bertentangan dengan bekam.
4. Penderita sakit harus berusaha rileks, tidak sering berjalan kaki ketika kadar asam urat dalam darahnya tinggi, sehingga tidak terkena risiko terjadinya peradangan sendi.
5. Kompres air hangat kadang-kadang bisa membantu penderita gout untuk mengurangi rasa nyeri.
6. Penderita gout hendaklah menggunakan berbagai sarana penyembuhan lain yang telah dijelaskan oleh Rasulullah SAW seperti memperbanyak doa dan sedekah.
7. Untuk keterangan dan konsultasi yang lebih terperinci lagi silahkan hubungi terapis anda dikota anda masing-masing. (Abd. Sony)

http://bekammedik.blogspot.co.id/2016/06/asam-urat-bekam-dan-herbalnya.html?m=1
Http://theraafiat.blogspot.com

Bekam hubungi
Rumah sehat Thera Afiat
Jl kelapa Sawit Raya Blok DD no 15
Kelapa Gading
Jakarta Utara

Telp 08111494599
087883171247

Kamis, 23 Juni 2016

Graves Hyperthyroidsm

makalah Hyperthyroidism

PEMBAHASAN

 A.DEFENISI
Hyperthyroidism adalah kondisi dimana kelenjar tiroid memproduksi terlalu banyak hormon tiroksin. Hyperthyroidism dapat dengan signifikan memicu metabolisme tubuh anda dan menyebabkan turunnya berat badan secara tiba-tiba, meningkatnya kecepatan atau ketidak normalan detak jantung, berkeringat, dan gugup atau cepat marah.  Hyperthyroidism Hyperthyroidism / Kelenjar tiroid yang terlalu aktif
Beberapa pilihan pengobatan telah tersedia jika anda memiliki hyperthyroidism. Dokter menggunakan obat anti tiroid dan radioactive iodine untuk memperlambat produksi hormon tiroid. Terkadang, penanganan hyperthyroidism meliputi operasi untuk mengangkat kelenjar tiroid. Meskipun hyperthyroidism dapat menjadi serius jika anda mengabaikannya, banyak orang langsung meresponnya dengan baik begitu teridentifikasi.
Gambar/bagan Hyperthyroidism:
             
                                         

B.PENYEBAB
            Penyebab terjadinya Hyperthyroidism :
Ø  Penyakit Grave. Adalah dimana kelenjar Thyroid, mengalami rangsangan yang berlebihan dalam pembentukan hormon. Rangsangan ini diduga oleh senyawa yang ada di dalam peredaran darah yang dikenal dengan  Thyroid Stimulating Immunoglobulin (TSI). TSI ini dapat menyebabkan rangsangan yang berlebihan dan menimbulkan Goiter.
Ø  Toxic multinodular goiter.Kelainan ini timbul akibat produksi hormon Thyroid yang berlebihan dari kelenjar Gondok itu sendiri tanpa ada pengaruh rangsangan dari mana mana. Juga tanpa adanya rangsangan dari TSH.  Kelainan ini biasanya terjadi pada penderita yang telah lama mengalami Goiter yang tak terkontrol, seperti pada usia lanjut. Penyakit Toxic multinodular goiter berbeda dari Penyakit Grave, karena gejala  hyperthyroidism nya lebih ringan, dan komplikasi kelainan mata juga tidak separah Grave.
Ø  Thyroiditis. Radang kelenjar Gondok. Peradangan dapat menyebabkan satu lonjatan hyperthyroid, sehingga dapat menimbulkan keadaan  hypothyroidism, dan akan menurun ketika radang teratasi.
Ø  Pituitary adenoma. Penyakit tumor kelenjar pituitary, yang menyebabkan meningkatnya TSH diluar sistem pengaturan. Hal ini mempengaruhi kelenjar Gondok, sampai terjadi rangsangan yang berlebihan dan menyebabkan produksi hormon Thyroid yang juga berlebihan.
Ø  Drug-induced hyperthyroidism. Keadaan ini adalah akibat efek samping pengobatan.
Beberapa alasan lain penyebab terjadinya hyperthyroidism antara lain:
v  Graves disease. Penyakit ini adalah kekacauan autoimun yang menghasilkan antibodi oleh sistem imun tubuh yang menstimulasi tiroid untuk menghasilkan terlalu banyak tiroksin. Normalnya sistem imun menggunakan antibodi untuk membantu melindungi tubuh dari virus, bakteri dan zat asing lain yang masuk ke tubuh. Pada penyakit ini, antibodi secara salah menyerang tiroid dan adakalanya menyerang jaringan dibelakang mata dan kulit, seringkali di kaki bagian bawah sampai ke atas.
v  Hyperfunctioning thyroid nodules (toxic adenoma, toxic multinodular goiter, Plummer’s desease). Bentuk dari hyperthyroidism ini terjadi ketika satu atau lebih adenoma dari tiroid anda memproduksi terlalu banyak tiroksin. Tidak semua adenoma menghasilkan tiroksin berlebih, dan dokter tidak yakin apa yang menyebabkan beberapa diantaranya memproduksi terlalu banyak hormon.

v  Thyroiditis. Terkadang kelenjar tiroid anda dapat menjadi bengkak untuk alasan yang tidak diketahui. Pembengkakan ini dapat menyebabkan hormon tiroid yang tersimpan menjadi berlebih di dalam kelenjar dan menyebabkan kekurangan pada aliran daran. Satu tipe langka dari thyroiditis yang diketahui sebagai subacute thyroiditis, menyebabkan sakit pada kelenjar tiroid.

    C.TANDA DAN GEJALA.
Hyperthyroidism dapat meniru masalah kesehatan lain, dimana mungkin akan sulit bagi dokter anda untuk mengetahuinya. Penyakit ini juga dapat memiliki tanda gejala yang bervariasi. Gejala hyperthyroidism antara lain :

•    Turun berat badan secara tiba-tiba, bahkan ketika anda memiliki nafsu makan dan asupan makan anda normal atau bahkan meningkat
•    Jantung berdetak dengan cepat (tachycardia) -  biasanya lebih dari 100 detak per menit – detak jantung yang tidak normal (arrhythmia) atau hentakan pada jantung (palpitation)
•    Nafsu makan meningkat
•    Gugup, mual, lekas marah
•    Getaran – biasanya gemetar pada tangan dan jari
•    Berkeringat
•    Berubahnya pola menstruasi
•    Meningkatnya sensitifitas pada panas
•    Berubahnya pola pada usus, khususnya pergerakan usus yang lebih sering
•    Membesarnya kelenjar tiroid (goiter), yang dapat ditandai dengan bengkak pada leher bagian bawah
•    Kelelahan, lemah otot
•    Sulit tidur

        Orang dewasa lainnya bahkan tidak memiliki tanda atau gejala atau tanda yang halus seperti meningkatnya kecepatan detak jantung, intoleransi terhadap panas dan cenderung menjadi lelah ketika melakukan aktifitas normal. Pengobatan medis yang disebut beta blockers, yang digunakan untuk merawat tekanan darah tinggi dan kondisi lainnya, dapat menutup banyak tanda hyperthyroidism.

D. POTOFISIOLOGI
Manifestasi keluhan dan gejal klinik tergantung dari lama sakit dan derajat berat sakit. Manifestasi klinik umumnya sudah terjadi beberapa bulan pasien mengalami hipertiroidisme, dan gejala klinik muncul sedikit demi sedikit secara gradual, terutama jika hormon tiroid meningkat ringan berrtahap dari minggu ke minggu berikutnya, sehingga akhirnya manifestasi klinik menjadi ekstrem bahkan tanpa disadari oleh pasien bersangkutan.  Pasien bahkan seringkali mengeluhkan pertama kali penyakitnya terkait hal-hal yang disebabkan oleh bukan penyakit tiroid, misalnya rasa lelah menghadapi keluarga atau pekerjaan atau tanggung jawab yang biasa dihadapinya, tidak tahan terhadap udara panas, penurunan berat badan padahal jumlah makan sudah cukup,  sesak dan berdebar saat melakukan olahraga rutin. Sebaliknya, pasien tirotoksikosis yang terkait dengan tiroiditis seringkali dapat menceritakan onset gejala simtomatik dengan tepat, umumnya didalam waktu 1 bulan, dan ekses hormon tiroid umumnya ekivalen dengan total  pengeluaran hormon tiroid ke sirkulasi 30 sampai 60 hari, dan dengan pengeluaran selama beberapa hari atau beberapa minggu saja. Anamnesis yang teliti dan kronologis diharapkan dapat mengenali spektrum gejala klinik pasien hipertiroid atau tirotoksikosis. Pasien usia muda umumnya lebih mudah dikenali gejala karaktesitiknya. Apathetic Thyrotoxicosis atau masked thyrotoxicosis adalah sindrom yang sering ditemukan pada orang tua yang mungkin disertai dengan payah jantung, aritmia, dan penurunan berat badan  tanpa disertai peningkatan nafsu makan seperti pasien usia muda.
Berbagai kemungkinan manifestasi klinik seperti dibawah ini:
1)      Sistem saraf.
Pasien hipertiroid sering memberikan gejala kecemasan, perasaan kejiwaan yang tertekan. Depresi, emosional yang labil, konsentrasi yang menurun, mungkin mengalami penurunan prestasi sekolah dan pekerjaan. Pada beberapa kasus yang jarang gangguan mental bisa sangat berat meliputi gejal manik-depresi, schizoid, atau reaksi paranoid. Gejala karakteristik pasien tirotoksikosis bisa menunjukkan hiperkinesia. Selama wawancara pasien bisa menunjukkan gejala sering mengubah posisi, pergerakan yang cepat, jerky, exaggerated, dan seringkali tanpa tujuan yang jelas. Peningkatan refleks dan tremor mungkin pula didapatkan. Pada pasien anak-anak manifestasi gejala klinik cenderung lebih berat, misalnya tidak mampu berkonsentrasi, penurunan prestasi sekolah. Tremor halus tangan, lidah mungkin menyerupai gejala parkinson. Pemeriksaan electroencephalogram menunjukkan peningkatan fast wave activity, dan pada pasien dengan gangguan konvulsi, frekuensi kejang semakin meningkat
2)      Sistem jantung.
Hormon tiroid mempunyai efek langsung pada sistem konduksi  jantung, sehingga mungkin terjadi efek takhikardi dan biasanya jenis supraventrikuler. Hipertiroidisme dan mungkin pula disertai ada dasar penyakit jantung mungkin menjadi penyenab fibrilasi atrial.  Kardiomegali dan payah jantung mungkin disebabkan tirotoksikosis yang telah berlangsung lama. Bising jantung sering didapatkan. Jantung dalam keadaan hiperdinamik sering menunjukkan suara jantung ekstrakardial. Suara jantung dapat meningkat, terutama S1 dan scratchy systolic sound sepanjang batas kiri sternum, menunjukkan adanyapleuropericardial friction rub (Mean-Lerman scratch).  Manifestasi klinik ini membaik jika status metabolik normal bisa dipulihkan.  Graves atau Hashimoto bisa terjadi prolaps katub mitral, dan proporsinya lebih tinggi dibandingkan dengan orang normal. Aritmia kardial terutama jenis supraventrikuler, dan sering pada pasien usia muda. Atrial fibrilasi tercatat antara 2 – 20% , dan pada populasi pasien atrial fibrilasi sejumlah 15% diantaranya tergolong tirotoksik.  Pada populasi diatas 60 tahun, pada kelompok yang TSHnya rendah atrial fibrilasi didapatkan pada 28% kasus.
3)      Sistem muskuloskeletal
Katabolisme otot yang berlebihan menyebabkan otot atrofi, dan lemah. Kekuatan otot menjadi menurun sehingga kekuatan jalan, mendaki, mengangkat barang, posisi jongkok ke berdiri mengalami penurunan. Hipertiroidisme mungkin disertai Myasthenia gravis, atau Paralisis periodik hipokalemia. Proses resorbsi tulang lebih dominan dari proses pembentukan tulang, berakibat pada hipercalciuria dan kadang-kadang bisa terjadi hipocalcemia. Hipotiroidism yang berlangsung lama dapat menyebabkan osteopenia.
4)      Sistem gastrointestinal.
Nafsu makan meningkat, dan beberapa pasien nafsu makannya tidak terkendali. Meskipun demikian umumnya disertai penurunan berat badan.  Motilitas usus besar meningkat, sehingga terkait hiperdefikasi, tetapi jarang didapatkan diare. Hipertiroid tahap lanjut akan menyebabkan bisa menyebabkan malnutrisi, dan berakibat fungsi hati abnormal.
5)      Mata
Perubahan pada mata sangat bervariasi, abnormalitas bisa baru tampak setelah dilakukan pemeriksaaan canggih, jika secara klinis mudah terdeteksi maka itu sidah kondisi yang mungkin mengancam penglihatan. Pada Graves mungkin terjadi retraksi pada kelopak mata, jika terjadi inflamasi jaringan lunak maka bisa memberikan epifora, fotopobia, rasa ngeres pada kornea, dan nyeri retro orbita. Selain itu disertai dengan tanda-tanda edema, kelopak mata khemosis, lagopththalmus, lemak orbita keluar  melalui septum orbita dan adanya inflamasi pada tempat inserasi dari muskulus rektus horisontal. Perubahan akibat inflamasi ini memegang peranan penting dalam menentuka aktifitasa penyakit. Proptosis terjadi pada 20 – 30% penderita penyakit Graves. Proptosisi terjadi pada 20-30% pasien Graves da secara klinis tampak bilateral  pada 80 – 90% pasien. Proptosis ialah apabila eksoptalmus yang terjadi melebihi > 2 mm dari batas atas harga normal. Proptosis adalah manifestasi dari abnormalitas oftalmopati Graves yang paling persisten dan sulit ditangani.  Proptosis, pembengkakan dan fibrosis menyebabkan keterbatasan pergerakan mata dan diplopia.  Mata yang terpapar berwarna kemerahan. Tekanan pada nervus optikus dan keratitis dapat menyebabkan buta. Pada Graves hipertiroidisme dan kelainan mata biasanya terjadi paralel, tetapi bisa pula berjalan sendiri. Penyebab kelainan umumnya terkait otoimun. Sangat jarang oftalmopati terjadi pada Hashimoto dan pada pasien eutiroid yang tidak terkait dengan gejala klinik penyakit tiroid, disebut sebagai Penyakit Graves Eutiroid.
6)      Menifestasi kulit.
Kulit pasien adalah hangat, lembab, dan berminyak. Telapak tangan berkeringan dan lebih terasa panas dibandingkan dengan dingin. Hipertiroidisme jangka lama bisa menyebabkan Onycholysis (kuku terangkat pada ujung jari).  Bisa sekali-sekali ditemukan dermopati penyakit Graves, yaitu “orange-peel thickening” pada daerah pretibial.

7)      Sistem reproduksi.
Hipertiroidisme mengganggu kesuburan pada wanita usia subur, dan mungkin menyebabkan oligomenore. Pada Pria, jumlah absulut sperma menurun dan munkin terjadi impoten. Hormon testosterone yang tinggi disertai dengan peningkatan konversi androgen menjadi estrogen menyebakan ginekomasti. Hormon tiroid meningkatkan sex-hormone binding globulin, sehingga menyebabkan peningkatan kadar total testosteron dan estradiol. Hormon Folicle stimulating hormone (FSH), dan Leutenizing hormone(LH) mungkin meningkat atau normal.
8)      Sistem Metabolik.
Pasien usia lanjut bisa bisa timbul anoreksia, dan bisa menyebabkan penurunan berat badan. Pasien dewasa muda dan remaja bisa kehilangan kontrol dalam mengendalikan nafsu makan, bisa terjadi peningkatan berat badan.  Hormon tiroid yang tinggi dapat meningkatkan produksi panas tubuh, peningkatan keringat tubuh dan mungkin ada polidipsi ringan. Banyak pasien merasa tidak tahan dengan udara panas, dan lebih menyukai udara yang dingin. Pasien diabetes mungkin kebutuhan insulin meningkat.
9)      Sistem Respiratorik.
Tirotoksikosis yang berat bisa menyebabkan dyspneu, dan beberapa faktor lainnya bisa terkait.  Kekuatan otot pernafasan umumnya menurun, dan berakibat penurunan vital capacity.
10)   Kelenjar tiroid.
Kelenjar tiroid umumnya membesar. Konsistensi dan pembesaran kelenjar tergantung proses patologis yang mendasarinya. Kelenjar yang sangat besar disertai dengan peningkatan aliran darah bisa menyebabkan  bising tiroid.

E.KOMPLIKASI.
            Badai tiroid adalah suatu aktivitas yang sangat berlebihan dari kelenjar tiroid, yang terjadi secara tiba-tiba.
Badai tiroid bisa menyebakan:
       -  demam
       - kelemahan dan pengkisutan otot yang luar biasa
       - kegelisahan
       - perubahan suasana hati
       - kebingungan
       - perubahan kesadaran (bahkan sampai terjadi koma)
       - pembesaran hati disertai penyakit kuning yang ringan.
Badai tiroid merupakan suatu keadaan darurat yang sangat berbahaya dan memerlukan tindakan segera.
Tekanan yang berat pada jantung bisa menyebabkan ketidakteraturan irama jantung yang bisa berakibat fatal (aritmia) dan syok.
Badai tiroid biasanya terjadi karena hipertiroidisme tidak diobati atau karena pengobatan yang tidak adekuat, dan bisa dipicu oleh:
    - infeksi
    - trauma
    - pembedahan
    - diabetes yang kurang terkendali
    - ketakutan
    - kehamilan atau persalinan
    - tidak melanjutkan pengobatan tiroid
    - stres lainnya.
Badai tiroid jarang terjadi pada anak-anak.
F.PENGOBATAN DAN DIAGNOSA HYPERTHYROIDISM.
v  PENGOBATAN.
Hipertiroidisme biasanya dapat diatasi dengan obat-obatan, pilihan lainnya adalah:
   1).Pembedahan untuk mengangkat kelenjar tiroid atau pemberian yodium radioaktif.
   2).Setiap pengobatan memiliki kelebihan dan kekurangan.

Agar bekerja sebagaimana mestinya, kelenjar tiroid memerlukan sejumlah kecil yodium; jumlah yodium yang berlebihan bisa menurunkan jumlah hormon yang dibuat dan mencegah pelepasan hormon tiroid.Karena itu untuk menghentikan pelepasan hormon tiroid yang berlebih, bisa diberikan yodium dosis tinggi.
Pemberian yodium terutama bermanfaat jika hipertiroidisme harus segera dikendalikan (misalnya jika terjadi badai tiroid atau sebelum dilakukan tindakan pembedahan).
Yodium tidak digunakan pada pengobatan rutin atau pengobatan jangka panjang.

Ø  Propiltiourasil atau metimazol.
Merupakan obat yang paling sering digunakan untuk mengobati hipertiroidisme. Obat ini memperlambat fungsi tiroid dengan cara mengurangi pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar. Kedua obat tersebut diberikan per-oral (ditelan), dimulai dengan dosis tinggi, selanjutnya disesuaika dengan hasil pemeriksaan darah terhadap hormon tiroid.
Obat ini biasanya bisa mengendalikan fungsi tiroid dalam waktu 6 minggu sampai 3 bulan. Dosis yang lebih tinggi bisa mempercepat pengendalian fungis tiroid, tetapi resiko terjadinya efek samping juga meningkat.
Efek samping:
Berupa reaksi alergi (ruam kulit), mual, hilang rasa dan penekanan sintesa sel darah merah di sumsum tulang. Penekanan sumsum tulang bisa menyebabkan berkurangnya jumlah sel darah putih, sehingga penderita sangat peka terhadap infeksi.
Pada wanita hamil, penggunaan propiltriurasil lebih aman dibandingkan dengan metimazol karena lebih sedikit obat yang sampai ke janin
Ø  Obat beta bloker(misalnya propanolol)
Membantu mengendalikan beberapa gejala hipertiroidisme. Obat ini efektif dalam memperlambat denyut jantung yang cepat, mengurangi gemetar dan mengendalikan kecemasan.
Beta bloker terutama bermanfaat dalam mengatasi badai tiroid dan penderita yang memiliki gejala yang mengganggu atau berbahaya, yang hipertiroidismenya tidak dapat dikendalikan oleh obat lain. Tetapi beta bloker tidak mengendalikan fungsi tiroid yang abnormal.Hipertiroidisme juga bisa diobati dengan yodium radioaktif, yang menghancurkan kelanjar tiroid.
Yodium radioaktif per-oral memberikan pengaruh yang sangat kecil terhadap tubuh, tetapi memberikan pengaruh yang besar terhadap kelenjar tiroid. Karena itu dosisnya disesuaikan sehingga hanya menghancurkan sejumlah kecil tiroid agar pembentukan hormon kembali normal, tanpa terlalu banyak mengurangi fungsi tiroid.
Sebagian besar pemakaian yodium radioaktif pada akhirnya menyebakan hipotiroidisme. Sekitar 25% penderita mengalami hipotiroidisme dalam waktu 1 tahun setelah pemberian yodium radioaktif.Yodium radioaktif tidak diberikan kepada wanita hamil karena bisa melewati sawar plasenta dan bisa merusak kelenjar tiroid janin.
Pada tiroidektomi, kelenjar tiroid diangkat melalui pembedahan.
Pembedahan merupakan terapi pilihan untuk:
- penderita muda
- penderita yang gondoknya sangat besar
- penderita yang alergi terhadap obat atau mengalami efek samping akibat obat.
Setelah menjalani pembedahan, bisa terjadi hipotiroidisme. Kepada penderita ini diberikan terapi sulih hormon sepanjang hidupnya.
Komplikasi lain dari pembedahan adalah kelumpuhan pita suara dan kerusakan kelenjar paratiroid (kelenjar kecil di belakang kelenjar tiroid yang mengendalikan kadar kalsium dalam darah).

Ø  DIAGNOSA.
Tanda-tanda vital (suhu, nadi, laju pernafasan, tekanan darah) menunjukkan peningkatan denyut jantung. Tekanan darah sistolik bisa meningkat. Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya pembesaran kelenjar tiroid atau gondok.
Untuk menilai fungsi tiroid dilakukan pemeriksaan:
- TSH serum (biasanya menurun)
- T3, T4 (biasanya meningkat).
Selain itu ada juga berbagai test yang digunakan untuk diagnosa Hyperthyroidism misalnya:
- Test darah hormone thiroid
- X-ray scan – untuk mendeteksi adanya tumor
- CAT scan - untuk mendeteksi adanya tumor
- MRI scan - untuk mendeteksi adanya tumor
Penyakit ini juga mengubah hasil yang menyangkut test berikut:
- Vitamin B-12
- TSI
- Triglycerides
- RT3U
- Pengambilan yodium radioaktif
- glukosa Tes
 Cholesterol test                
- Antithyroglobulin antibodi.
G.KESIMPULAN
         Hyperthyroidism adalah kondisi dimana kelenjar tiroid memproduksi terlalu   banyak hormon tiroksin.
      Hyperthyroidism dapat dengan signifikan memicu metabolisme tubuh anda dan menyebabkan turunnya berat badan secara tiba-tiba, meningkatnya kecepatan atau ketidak normalan detak jantung, berkeringat, dan gugup atau cepat.
Beberapa pilihan pengobatan telah tersedia jika anda memiliki hyperthyroidism. Dokter menggunakan obat anti tiroid dan radioactive iodine untuk memperlambat produksi hormon tiroid. Terkadang, penanganan hyperthyroidism meliputi operasi untuk mengangkat kelenjar tiroid.

DAFTAR PUSTAKA

o   AACE, 2006 (Amended Version). American Association of Clinical Endocrinologists Medical Guidelines for Clinical Practice for the Evaluation and Treatment of Hyperthyroidism and Hypothyroidism. Endocr Pract. 2002 ; 8 (no.6) 459 – 469.
o   Wiersinga(2004). Adult Hypothyroidism. http://www.thyroidmanager.org.
o   Sutjahjo A, Murtiwi S, 2006. Hipotiroidisme: Diagnosis dan pengelolaan. Naskah Lengkap Surabaya Thyroid Symposium-1, Surabaya, 13 Mei 2006, 56-60.
o   Sutjahjo A, Tjokroprawiro A, Hendromartono, Pranoto A, Murtiwi S, Adi S, Wibisono S, 2007. Penyakit Kelenjar Gondok. Buku Ajar Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr.Soetomo Surabaya. Editor: Tjokroprawiro A, Setiawan PB, Santoso D, Soegiarto G.  Airlangga University Press, hlm 86 – 92.
o   Bo Youn Cho. Hyperthyroid disease. Recognition and management. Medical Progress 1988; 15:17-31.
o   Bayer MF. Effective laboratory evaluation of thyroid status. Med Clin North Am 1991; 75:1-26.
o   Djokomoeljanto R. Pengobatan medik hipertiroidisme. Dalam Adam JMF (Ed): Endokrinologi Praktis. Diabetes Melitus, Tiroid, Hiperlipidemia. Ujung Pandang 1989:185-194.
o   Hershman JM. 2002. Hypothyroidism and Hyperthyroidism. In: Manual of Endocrinology and Metabolism. Editor Lavin N. 3th edition. Lippincott Williams & Williams, p 396 – 409.

o   Tjokroprawiro, 2007. Thyroid storm: Pathogenesis and Treatment. (Formulas TS-41668.24.6 and CS – 7.3.3 as Practical guidelines. Naskah Lengkap Surabaya Thyroid Symposium-1, Surabaya, 13 Mei 2006,
budi triyono nova

Myasthenia Gravis


Penyakit Miastenia Gravis (Myasthenia Gravis)


Miastenia Gravis adalah kelainan autoimun kronis dari transmisi neuromuskular yang ditandai dengan kondisi otot rangka yang lemah. Miastenia Gravis disebabkan karena terjadinya kekacauan penyimpangan antara saraf dan otot (neuro muscular junction disorder), yang antara lain memengaruhi kekebalan tubuh manusia. Secara sederhana bisa disebut kekacauan penyimpangan antara saraf dan otot, yang antara lain memengaruhi kekebalan tubuh manusia.
Miastenia Gravis dapat menyerang otot apa saja, tapi yang paling umum terserang adalah otot yang mengontrol gerakan mata, kelopak mata, mengunyah, menelan, batuk dan ekspresi wajah. Bahu, pinggul, leher, otot yg mengontrol gerakan badan serta otot yang membantu pernafasan juga dapat terserang.
Miastenia Gravis menyebabkan terjadinya kelemahan progresif dan menyebar pada otot skeletal, yang bertambah buruk setelah beraktivitas dan melakukan gerakan yang berulang-ulang. Miastenia Gravis dapat muncul setelah terjadi ledakan kemarahan dan mengalami remisi secara periodik yang tidak dapat diramalkan. Di dalam ilmu kedokteran penyakit saraf (neurologi), MG termasuk jenis penyakit sulit yang tingkat kegawatannya tinggi. Penderita mengalami kelumpuhan otot secara bertahap dan jika akut akan mengalami gagal napas yang bisa mengakibatkan kematian
Miastenia Gravis (MG) termasuk penyakit langka. Penderitanya boleh dibilang 1 di antara 1.000. Miastenia Gravis dapat menyerang semua usia, namun paling banyak ditemukan pada usia antara 20 sampai 40 tahun. Miastenia Gravis lebih banyak menyerang wanita dibanding pria, yaitu 3:1, tetapi setelah usia 40 tahun, penyakit ini tampaknya dapat menyerang pria maupun wanita secara seimbang. Sekitar 20% bayi yang dilahirkan oleh ibu penderita Miastenia Gravis akan memiliki miastenia yang tidak menetap/transient (kadang permanen).
Penyakit ini akan muncul bersamaan dengan gangguan sistem kekebalan dan gangguan tiroid; sekitar 15% penderita miastenia gravis mengalami thymoma(tumor yang dibentuk oleh jaringan kelenjar thymus). Remisi terjadi pada 25% penderita penyakit ini.
Perjalanan klinis dari Myasthenia Gravis sangat bervariasi antara pasien satu dengan yang lainnya. Dari sekian banyak pasien Myasthenia Gravis, 14 % hanya dengan gejala-gejala mata saja yang mengarah pada ocular Myasthenia Gravis.
Myasthenia Gravis juga menyerang otot-otot wajah, laring dan faring. Keadaan ini dapat menyebabkan regurgitasi melalui hidung jika pasien mencoba menelan (otot-otot palatum), menimbulkan suara yang abnormal atau suara nasal (sengau) serta gangguan bicara (dysarthria), dan pasien tidak mampu menutup mulut, yang dinamakan sebagai tanda rahang menggantung.
Terserangnya otot-otot pernafasan terlihat dari adanya batuk yang lemah, dan akhirnya dapat berupa serangan dispnea (ketidak nyamanan dalam bernafas) dan pasien tidak lagi mampu untuk membersihkan lendir dari trakhea dan cabang-cabangnya. Pada kasus lanjut, gelang bahu dan panggul dapat terserang pula, dapat pula terjadi kelemahan pada semua otot-otot rangka.
Kelemahan otot pada Myasthenia Gravis meningkat pada saat aktivitas yang terus menerus dan membaik setelah periode istirahat. Pasien akan mengalami penurunan tenaga sepanjang hari, dengan kecenderungan kelelahan dalam satu hari, atau menjelang berakhirnya aktivitas. Jika dibiarkan, keluhan umum yang dialami oleh pasien biasanya berkembang menjadi kesulitan pengunyahan selama makan. Gejala dari berbagai kelemahan tersebut cenderung menjadi lebih buruk dengan adanya berbagai macam stress, kepanasan, infeksi serta pada penderita dengan akhir masa kehamilan. Terlalu sedih, stres, kelelahan, marah atau terlalu gembira bisa mengakibatkan penderita MG mengalami kekambuhan bahkan sampai mengalami gagal napas karena saraf-saraf napas tidak bisa bergerak.
Penyebab
Miastenia Gravis disebabkan oleh adanya kegagalan dalam transmisi impuls saraf pada sambungan saraf ke otot. Secara teoritis, gangguan ini dapat disebabkan oleh reaksi autoimun atau gangguan pada aktivitas neurotransmiter. Pada miastenia gravis, sistem imunitas tubuh menghasilkan antibodi yang menyerang suatu reseptor pada sambungan saraf ke otot (neuromuscular junction), yaitu reseptor yang berespon pada rangsangan asetilkolin. Dengan demikian, terjadi gangguan antara sel saraf dengan otot.
Pada banyak kasus, faktor penyebab penyakit Myasthenia Gravis ini masih bersifat idiopatik atau belum jelas. Namun, ada beberapa faktor yang diduga memicu penyakit ini, misalnya:
-Penicillamine, obat ini diduga memicu penyakit-penyakit autoimun termasuk myasthenia gravis.
-antibodi AChR. Hampir 90% dari kasus MG ditemukan adanya antibodi AChR.
-Obat-obatan yang memicu gejala-gejala MG, antara lain: antibiotik (aminoglycosides, ampicillin), Beta-adrenergic receptor blocking agents, Lithium, Procainamide, Verapamil, Quinidine, Chloroquine, anticholinergics dan timolol.
Intinya, myasthenia gravis terjadi dikarenakan autoimun.
Gejala
Gejala dapat muncul secara tiba-tiba. Sebagian besar penderita awalnya mengalami rasa lemah pada kelopak mata. Kelopak mata menutup dan penglihatan ganda merupakan tanda-tanda awal terjadinya gangguan ini. Karena kelopak mata yang menutup, penderita harus menaikkan kepalanya ke arah belakang untuk dapat melihat, namun otot leher juga dapat menjadi terlalu lemah untuk menyangga kepala.
Pada 90 % penderita, gejala awal berupa gangguan pada otot-otot ocular yang menimbulkan ptosis (menurunnya kelopak mata) dan diplopia (penglihatan ganda). Diagnosis dapat ditegakkan dengan memperhatikan otot-otot levator palpebrae kelopak mata. Bila penyakit hanya terbatas pada otot-otot mata saja, maka perjalanan penyakitnya sangat ringan dan tidak akan menyebabkan kematian.
Gejala dominan penyakit ini adalah kelemahan otot-otot skeletal dan kelelahan. Pada tahap awal, mudah terjadi kelemahan pada otot, tanpa ditemukan adanya gejala yang lain. Pada akhirnya, gejala ini dapat semakin parah dan dapat menyebabkan kelumpuhan. Biasanya, otot terasa kuat pada pagi hari dan semakin lemah kemudian, terutama setelah melakukan latihan atau aktivitas fisik. Istirahat singkat dapat mengembalikan fungsi otot untuk sementara. Kelemahan otot kemudian semakin berkembang, sampai akhirnya beberapa otot menjadi tidak dapat berfungsi sama sekali.
Gejala yang muncul tergantung pada kelompok otot yang terkena. Gejala menjadi lebih jelas ketika penderita menstruasi, mengalami stres emosional, terpapar udara dingin atau sinar matahari terlalu lama, atau terkena infeksi.
Penderita dapat mengalami kesulitan dalam mengunyah dan menelan. Penderita juga dapat mengalami kesulitan bernafas, karena kelemahan otot-otot pernafasan. Penderita krisis miastenik (gangguan pernafasan yang muncul tiba-tiba) dapat terkena pneumonia dan infeksi saluran pernafasan lainnya. Situasi ini dapat bertambah parah sehingga memerlukan ventilasi mekanis serta saluran udara darurat.
Gejala yang diderita oleh penderita MG antara lain kesulitan menelan (dysphagia), kelopak mata turun (ptosis), kesulitan berbicara (dysarthria), dan penglihatan ganda (diplopia). Sebagian besar penderita MG memiliki wajah yang khas. Matanya terlihat seolah-olah mengantuk. Lemahnya otot pada leher membuat kepala si penderita sering terjatuh ke depan atau kebelakang.
Komplikasi
Myasthenia gravis ditandai dengan lemahnya berbagai otot pada tubuh. Dan apabila otot pernafasan melemah, maka akan terjadi gagal pernafasan akut. Ini merupakan salah satu komplikasinya.
Kesulitan menelan (dysphagia).
Komplikasi lainnya juga bisa terjadi akibat obat yang dikonsumsi. Misalnya penggunaan steroid jangka panjang. Komplikasi yang ditimbulkan seperti katarak, hipertensi, dan hiperglikemia (kadar gula darah naik).
Mencegah dan Merawat Myasthenia gravis
Sebenarnya penyakit ini tidak dapat dicegah secara langsung, namun dapat dihindari dengan cara:
– mengurangi stress emosional
– jangan bekerja terlalu keras
– menghindari paparan langsung suhu ekstrim
– menghindari demam dan penyakit lain seperti infeksi pernafasan, pneumonia, abses gigi
– Tentukan waktu makan rutin
= makan makanan yang lunak dan hindari makanan lengket yang memerlukan banyak mengunyah (go sehat . Com)My

Acute Rheumatic Fever




Di seluruh dunia, RHEUMATIC FEVER merupakan penyebab yang paling sering penyakit jantung yang ‘didapat’ (aquired) pada anak-anak dan dewasa muda. Meskipun insidens RHEUMATIC FEVER telah menurun tajam di banyak negara maju, tetapi penyakit ini masih merupakan masalah besar di negara-negara yang sedang berkembang. Alasan kenapa ada fluktuasi insidens penyakit tersebut hanya sebagian diketahui. Meskipun telah diteliti dengan ekstensif, patogenese penyakit ini masih belum dapat didefinisikan dengan baik.

EPIDEMIOLOGI :

Insidens RHEUMATIC FEVER dan prevalensi RHD sangat bervariasi pada negara yang berbeda. Pada abad yang lalu, insidens RHEUMATIC FEVER di USA melebihi 100 per 100.000 populasi, berkisar antara 40-65 per 100.000 antara 1935 dan 1960, dan saat ini diperkirakan kurang dari2 per 100.000 populasi. Pada awal 1984, terjadi beberapa ‘outbreak’ akut RHEUMATIC FEVER di beberapa daerah tertentu di USA. Focal outbreak tersebut tidak dikaitkan denga peningkatan insidens RHEUMATIC FEVER secara nasional. Penurunan insidens di negara-negara industri berbeda tajam dengan insiden yang tetap tinggi pada negara-negara non-industri.

Pada banyak negara yang sedang berkembang, insidens RHEUMATIC FEVER akut mendekati atau melebihi 100 per 100.000 penduduk. Sesuai dengan turunnya insidens RHEUMATIC FEVER di negara-negara industri, maka prevalensi RHD juga menurun.

Penurunan insidens RHEUMATIC FEVER dan prevalensi RHD disebabkan banyak faktor. Meski penurunan tersebut didahului adanya pemakaian antimikrobial pada pengobatan faringitis streptokokus, beberapa laporan menyatakan bahwa pemakaian obat-obat tersebut mempercepat rate penurunan insidensi tersebut. Perbaikan standard ekonomi, perbaikan kondisi perumahan, berkurangnya kepadatan dalam rumah dan sekolah, mudahnya akses ke fasilitas kesehatan juga berperan, setidaknya sebagian pada penurunan insidensi RHEUMATIC FEVER. Observasi epidemiologis di USA dan UK menunjukkan perubahan periodik dalam muncul dan hilangnya ‘spesific M type’ pada lokasi geografik tertentu. Pergeseran tersebut juga merupakan penjelasan adanya penurunan dan kemunculan kembali RHEUMATIC FEVER dibeberapa bagian dunia.

Karena adanya ‘hubungan kausal’ antara RHEUMATIC FEVER dengan faringitis GAS, maka epidemiologis kedua penyakit tersebut sangat mirip. Serangan awal RHEUMATIC FEVER terjadi paling sering antara umur 6 – 15 tahun, dan RHEUMATIC FEVER sangat jarang dijumpai sebelum umur 5 tahun. Risiko terkena RHEUMATIC FEVER akan meningkat pada populasi yang mempunyai risiko tinggi faringitis streptokokus seperti military recruits, orang-orang yang hidup berdesakan(padat), dan mereka yang yang mempunyai kontak erat dengan anak-anak usia sekolah. Insidens RHEUMATIC FEVER sama pada laki-laki maupun perempuan. Insidens musim dari RHEUMATIC FEVER juga paralel dengan faringitis streptokokus. Puncak insidens RHEUMATIC FEVER di Eropa dan USA adalah pada musim semi (spring). Meski RHEUMATIC FEVER dianggap sebagai penyakit di daerah beriklim sedang (temperate = daerah yang tidak terdapat perbedaan suhu yang ekstrim), sekarang sering dijumpai didaerah tropis, khususnya di negara-negara sedang berkembang.


PATOGENESIS :
Bukti bahwa GAS merupakan agen penyebab serangan initial dan rekuransi RHEUMATIC FEVER sangat kuat tetapi ‘tidak langsung’. Hal didasarkan dengan observasi klinis, epidemiologis dan imunologis. Faktor-faktor yang menunjang patogenesis RHEUMATIC FEVER berhubungan baik dengan agen penyebab maupun faktor host.

The etiological “agent” :
Tonsilofaringitis GAS yang tidak diobati merupakan event pendahulu yang mencetuskan RHEUMATIC FEVER. RHEUMATIC FEVER tidak terjadi setelah infeksi streptokok kulit(impetigo).Pengobatan antibiotika yang baik terhadap faringitis streptokokus dengan eradikasi organisme akan meng-eliminasi risiko RHEUMATIC FEVER. Pada suatu keadaan yang kondusif untuk terjadinya epidemi faringitis stretokokus (seperti pada populasi militer, keadaan ber-desakan/padat), sekitar 3% dari radang tenggorok stretokokus akut yang tidak diobati akan diikuti oleh RHEUMATIC FEVER. Infeksi endemis akan menyebabkan ‘rate’ yang lebih rendah. Telah terdokumentasi dengan baik bahwa “sepertiga”(33%) dari semua kasus akut RHEUMATIC FEVER terjadi setelah faringitis yang ringan dan hampir-hampir tidak memberi gejala. Sedikitnya faringitis simtomatik merupakan gambaran yang mengesankan pada outbreak RHEUMATIC FEVER akut baru-baru ini, dimana sebagian besar pasien (58%) tidak mempunyai riwayat faringitis. Observasi ini merupakan peringatan bahwa, prevensi RHEUMATIC FEVER akut sangat bergantung pada identifikasi dan pengobatan yang tepat dan baik terhadap faringitis streptokokus.

Faktor utama yang dihubungkan dengan risiko RHEUMATIC FEVER adalah besarnya respons imun terhadap faringitis stretokokus sebelumnya dan persistensi organisme selama masa konvalesens. Variasi rheumatogenicity strain GAS merupakan faktor yang mempengaruhi ‘attack rate’ dari RHEUMATIC FEVER. Konsep yang menyatakan bahwa RHEUMATIC FEVER berkaitan dengan infeksi oleh strain virulen yang berkapsul(mukoid) berkemampuan meng-induksi respons imun spesifik yang kuat terhadap antigen M protein dan antigen streptokokus lainnya, diperkuat oleh observasi yang dibuat pada waktu outbreak RHEUMATIC FEVER akut pada pertengahan 1980-an. Streptokokus yang di-isolasi dari pasien RHEUMATIC FEVER dan anak-anak yang berkontak selama outbreak tersebut ternyata terutama strain dari type M 1,3,5,6 dan 18. M protein dari rheumatogenic streptococci menunjukkan karakteristik yang jelas: mereka berbagi dengan satu terminal domain antigenik yang panjang dan berisikan epitopes yang berbagi dengan jaringan jatung manusia, khususya protein membran sarkolema dan cardiac myosin.

“Host” :
Meskipun hanya sebagian kecil individu dengan faringitis streptokokus yang tidak di-obati yang menjadi RHEUMATIC FEVER (3%),tetapi insidens penyakit RHEUMATIC FEVER setelah faringitis streptokokus pada pasien yang mempunyai riwayat episode RHEUMATIC FEVER sebelumnya, lebih besar (sekitar 50%). Sejumlah penelitian epidemiologis juga meng-indikasikan adanya predisposisi familial terhadap penyakit ini. Observasi tersebut serta penelitian yang lebih baru menunjukkan adanya dasar genetik bagi kerentanan terhadap RHEUMATIC FEVER. Suatu specific B-cell alloantigen, di-identifikasi dengan antibodi monoklonal, telah dijumpai pada hampir semua pasien RHEUMATIC FEVER(99%) tetapi hanya dijumpai pada sebagian kecil (14%) dari kontrol. Lebih lanjut, kerentanan terhadap RHEUMATIC FEVER berkaitan dengan HLA-DR 1, 2, 3, dan 4 haplotypes pada berbagai group etnik.

PATOLOGI :

Fase akut RHEUMATIC FEVER ditandai dengan reaksi peradangan yang eksudatif dan proliferatif melibatkan jaringan ikat(connetive tissue) atau jaringan kolagen(collagen tissue). Meskipun proses tersebut bersifat ‘diffuse’, ia terutama mengenai jantung, sendi, otak dan jaringan kulit. Vaskulitis yang generalized mengenai pembuluh darah seringkali dijumpai, tetapi berbeda dengan vaskulitis jaringan ikat lain, TIDAK dijumpai adanya lesi trombotik pada RHEUMATIC FEVER.

Perubahan struktur yang utama pada kolagen adalah ‘degenerasi fibrinoid’. Connective tissue interstitial menjadi edematous dan eosinofilik, dengan fiber kolagen rapuh, terputus-putus, dan terdesintegrasi. Keadaan tersebut dikaitkan dengan infiltrasi sel mononuklear antara lain sel fibrohistiocytic besar dan termodifikasi (aschoff cells).. beberapa histiosit multinucleated dan membentuk ‘Aschoff giant cells’.

Nodule Aschoff pada stadium proliferatif dianggap patognomonik rheumatic carditis. Nodule-nodule tersebut telah hampir selalu dijumpai pada autopsi pasien-pasien yang meninggal akibat rheumatic carditis; tetapi, observasi baru-baru ini menunjukkan bahwa ‘aschoff nodules’ dijumpai hanya 30%- 40% biopsi pasien RHEUMATIC FEVER primer dan rekuren RHEUMATIC FEVER. Aschoof bodies dapat terlihat pada setiap daerah miokardium tetapi tidak pada organ lain yang terkena seperti sendi dan otak. Nodule tersebut sering dijumpai pada septum interventrikuler, dinding ventrikel kiri, atau appendage atrium kiri. Aschoff nodules bertahan sampai beberapa tahun setelah serangan RHEUMATIC FEVER, bahkan pada pasien yang tidak ada bukti-bukti adanya inflamasi aktif ataupun yang belum lama (recent).

Inflamasi jaringan katub merupakan manifestasi klinis yang lebih sering ditahui tentang adanya karditis rematik. Inflamasi initial berakibat insufisiensi katub. Hasil-hasil pemeriksaan histologis pada endokarditis terdiri dari edema dan infiltrasi sel pada jaringan katub dan chordae tendinae. Degenerasi hyaline mengenai katub menyebabkan terbentuknya ‘verrucae’ pada bagian tepinya, menghalangi penutupan katub yang sempurna. Fibrosis dan kalsifikasi katub akan terjadi bilamana inflamasi berlanjut. Lambat laun, proses tersebut berakibat stenosis katub.


DIAGNOSIS :

Tidak ada pemeriksaan klinis , laboratoris, atau pemeriksaan lain yang spesifik untuk mendiagnosa RHEUMATIC FEVER. Pada tahun 1944, T. Duckett Jones menyusun suatu kriteria untuk diagnosa RHEUMATIC FEVER; kriteria tersebut masih berharga untuk dipakai. Kriteria tersebut telah dimodifikasi, revisi, di-edit, dan di-update (dimutakhirkan) oleh Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis, dan Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young (American Heart Association). Panduan terbaru (Table 55-3) menekankan diagnosa “initial attacks” RHEUMATIC FEVER. Membagi hasil pemeriksaan klinis dan laboratoris menjadi manifestasi major dan minor didasarkan pada kepentingan diagnostik dari hasil pemeriksaan tertentu. Jika ditunjang oleh bukti-bukti adanya infeksi GAS sebelumnya, keberadaan “dua” major manifestasi atau “satu” major dan “dua” manifestasi minor meng-indikasikan “kemungkinan besar”(high probability) suatu RHEUMATIC FEVER akut.

Major Clinical Manifestations :
Carditis :
Rheumatic carditis adalah “pancarditis” yang mengenai endocardium, myocardium, dan pericardium dalam berbagai tingkat. Secara klinis, rheumatic carditis hampir selalu dikaitkan dengan ‘murmur’ akibat valvulitis.. Berat ringan karditis bervariasi. Pada bentuk berat, dapat terjadi kematian akibat gagal jantung. Lebih sering, karditis agak ringan, dan efek yang predominan adalah kerusakan katub jantung(scarring). Bukti keberadaan karditis dapat sangat samar; tanda-tanda keterlibatan katub dapat ringan dan sementara dan dapat dengan mudah terlewatkan pada waktu auskultasi. Baseline studies, seperti EKG dan echocardiografi, harus dilakukan pada pasien yang diduga RHEUMATIC FEVER. Pasien yang tidak terbukti adanya karditis pada pemeriksaan awal harus di-monitor ketat selama beberapa minggu guna mengetahui keterlibatan jantung.

Karditis seringkali dianggap sebagai manifestasi yang paling spesifik dari RHEUMATIC FEVER. Keadaan tersebut dijumpai pada minimal 50% pasien RHEUMATIC FEVER. Outbreak belum lama ini di USA menunjukkan bahwa frekwensi karditis agak lebih tinggi daripada yang dilaporkan selama ini dan mungkin juga sebagian dikarenakan saat ini telah banyak metode diag-nostik yang canggih. Pada salah satu laporan karditis terdiagnosa pada 72% kasus dengan auskultasi dan 91% dengan USG Doppler. Risiko overdiagnosa insufisiensi katub dengan echocardiografi harus diperhatikan benar, dan terlalu percaya pada alat tersebut dalam mendiagnosa karditis rematika harus dihindarkan.

Valvulitis(endocarditis), yang mengenai katub mitral dan aorta serta chorade katub mitral merupakan komponen yang khas dari karditis rematik. Mitral insufficiency merupakan tanda utama dari karditis rematika. Aorta insufficiency lebih jarang dan biasanya dikaitkan dengan mitral insufficiency. Katub pulmonal dan trikuspid sangat jarang terkena. Residual kerusakan katub merupakan hal yang penting pada pasien RHEUMATIC FEVER dan dapat menyebabkan gagal jantung sehingga membutuhkan terapi operatif.

Myocarditis atau pericarditis tanpa adanya valvulititis kemungkinan besar BUKAN disebabkan oleh RHEUMATIC FEVER. Takikardia merupakan tanda awal miokarditis tetapi juga dapat disebabkan oleh demam ataupun gagal jantung. Aritmia transient dapat terjadi pada pasien dengan miokarditis. Miokarditis berat atau insufisiensi katub dapat mengakibatkan gagal jantung. Pembesaran jantung(kardiomegali) terjadi bilamana terjadi gangguan hemodinamik berat yang diakibatkan oleh penyakit-penyakit katub, miokardial, atau perikardial. Terjadi inflamasi permukaan visceral dan parietal perikardium, mengakibatkan perikarditis dan akumulasi cairan perikardial.

Arthritis :
Polyarthritis merupakan major manifestation RHEUMATIC FEVER yang paling sering, tetapi paling tidak spesifik . Artritis hampir selalu asimetris, ber-pindah pindah, melibatkan sendi besar (lutut, ankle, siku, dan pergelangan tangan). Karakteristiknya terdapat pembengkakan, kemerahan ,panas, dan sangat nyeri, keterbatasan gerak, dan nyeri tekan. Artritis RHEUMATIC FEVER adalah jinak, tidak menyebabkan deformitas sendi. Cairan sendi menunjukkan karakteristik inflamasi( bukan infeksi). Pada kasus-kasus yang tidak di-obati, artritis biasanya berlangsung 2-3 minggu. Gambaran yang menyolok adalah bahwa artritis rematika memberi respons dramatis dengan pemberian salisilat. Sesungguhnya, jika pasien tidak segera membaik setelah 48 jam terhadap pemberia salisilat yang adekuat, maka diagnosa RHEUMATIC FEVER jadi meragukan.

Beberapa pasien dapat mengalami artritis dan manifestasi banyak sistem etelah faringitis streptokokus akut yang tidak memenuhi kriteria Jones untuk diagnosa RHEUMATIC FEVER akut. “Syndrome” demikian di sebut sebagai “Poststreptococcal reactive arthritis”(PSRA). Arthritis PSRA TIDAK memberi respons dramatis dengan obagt-obat anti inflamasi. Beberapa pasien PSRA dapat mengalami suatu “silent’ atau “delayed – onset” carditis; Maka, pasien seperti ini harus diobeservasi dengan teliti beberapa bulan untuk menge-tahui terjadinya carditis.

Chorea :
Sydenham’s chorea, St. Vitus’ dance, atau chorea minor terjadi sekitar 20% pasien RHEUMATIC FEVER. Proses inflamasi rheumatic pada CNS khususnya mengenai “ganglia basalis” dan “nuclei caudatus”. Chorea adalah ‘delayed ‘manifestation dari RHEUMATIC FEVER, biasanya muncul ≥ 3 bulan setelah onset infeksi streptokokus sebagai pencetus. Keadaan ini sangat berbeda dengan ‘periode latent’ dari carditis atau arthritis, yang mana biasanya terjadi 3 minggu. Oleh karena itu kadang-kadang chorea hanya merupakan satu-satunya manifestasi RHEUMATIC FEVER yang dijumpai. Lebih lanjut bukti adanya infeksi GAS yang belum lama mungkin sukar untuk diketahui dan kadang anamnesa, klinis, atau hasil laboratoris untuk memenuhi kriteria Jones sukar diperoleh. Diagnosa RHEUMATIC FEVER dapat dibuat pada pasien dengan “chorea” tanpa perlu kesesuaian dengan kriteria Jones.

Sydenham’s chorea secara klinis khas dengan adanya gerakan-geraka yang tak terkontrol dan tak bertujuan, inkoordinasi otot dan kelemahan otoa serta labilitas emosi. Manifestasi menjadi lebih nyata bilamana pasien dibangunkan dan dalam keadaan stress dan menghilang pada waktu tidur. Semua otot dapat terkena tetapi yang terutama adalah otot-otot muka dan ekstremitas. Dapat terjadi gangguan bicara, yang eksplasive dan ter-putus putus. Tulisan menjadi jelek, dan pasien menjadi tidak terkoordinasi serta mudah frustrasi. Gejala Sydenham’s chorea harus dibedakan dengan “tics”, “athetosis”, “reaksi konversi”, “hiperkinesis”, dan “”behaviour problems”. Gejala biasanya menghilang setelah 1-2 minggu , bahkan tanpa terapi apa-apa.

Erythema marginatum :
Rash yang nyata merupakan manifestasi RHEUMATIC FEVER yang jarang dijumpai, terjadi sekitar 5% penderita. Kelainan ini berupa rash yang cepat hilang(evanescent),eritematous, makular, dan nonpruritic dengan bagian tengah(center) yang pucat dan tepi bulat atau ber-lingkar-lingkar (serpiginous). Lesi beukuran sangat bervariasi dan terdapat terutama pada tubuh dan ektremitas proksimal, TIDAK pada muka, rash dapat di-induksi dengan aplikasi panas.

Nodule subkutan :
Nodule ini kenyal(firm), dapat degerakkan berukuran 0,5 – 2 cm. Nodule tersebut jarang dijumpai (hanya sekitar 3%); bila ada, nodule paling sering dijumpai pada pasien RHEUMATIC FEVER dengan karditis. Nodule tersebut biasanya dijumpai pada permukaan ekstensor persendian (khususnya siku, lutut, dan pergelangan tangan), didaerak kulit kepala oksipital, atau pada prosesus spinosa. Kulit diatas nodule dapat digerakkan, tidak ada perubahan warna, dan tidak meradang.

Minor manifestations:
Pemeriksaan klinis :
Demam dan artralgia merupakan hasil pemeriksaan yang TIDAK spesifik, merupakan hasil pemeriksaan yang umum dijumpai pada pasien RHEUMATIC FEVER. Nilai diagnostiknya terbatas karena mereka umumnya dijumpai pada penyakit-penyakit lain. Demam dan artralgia digunakan untuk menunjang diagnosa RHEUMATIC FEVER hanya bilamana hanya dijumpai “satu” major manifestation. Demam hanya dijumpai selama stadium akut dan tidak mempunyai pola khas. Arthralgia adalah “rasa nyeri” yang dijumpai pada satu atau lebih sendi besar tanpa ada tanda objektif pada pemeriksaan fisik dan tidak dianggap sebagai manifestasi minor bilamana ada “arthritis”. Epistaxis dan abdominal pain juga dapat dijumpai tetapi TIDAK termasuk kriteria diagnostik minor RHEUMATIC FEVER.

Pemeriksaan Laboratorium:
Peningkatan “acute phase reactants” merupakan hasil objektif tetapi ‘nonspesifik’ bagi suatu inflamasi jaringan. LED dan kadar C-reactive protein (CRP) selalu meningkat selama fase akut penyakit RHEUMATIC FEVER dengan karditis ataupun dengan poliartritis, tetapi biasanya NORMAL pada pasien dengan dhorea. Pemeriksaan LED sangat berguna dalam mengikuti perjalanan penyakit; LED biasanya kembali ke normal bilamana aktivitas rematik me-reda. Led dapat juga meningkat pada pasien anemia dan dapat berubah menjadi normal pada pasien dengan gagal jantung kongestif. Tidak seperti LED, CRP tidak dipengaruhi oleh anemia ataupun gagal jantung.

Hasil yang sering didapat lain pada RHEUMATIC FEVER akut adalah Pemanjangan P-R interval pada EKG yang tidak sesuia dengan umur dan HR. Hasil ini saja BUKAN merupakan diagnostik untuk karditis dan TIDAK berhubungan dengan perkembangan penyakit jantung rematik kronis. Hasil pemeriksaan EKG lain seperti takikardia, AV-blok, dan perubahan QRS-T menunjukkan dugaan adanya miokarditis; Hasil-hasil pemeriksaan tersebut tidak termasuk ‘minor manigfestation”.

Leukositosis dapat dijumpai pada stadium akut RHEUMATIC FEVER, tetapi jumlah leukosit bervariasi tapi tidak tergantung padanya (variable but not dependable). Anemia biasanya ringan atau moderat dan mo RHEUMATIC FEVERologis normocytic normochromic (anemia inflamsi kronis). Rontgen foto thorax juga berguna untuk mengetahui ukuran jantung; tetapi ronsen foto toraks yang normal tidak menyingkirkan adanya karditis. Perikarditis, edema pulmonal, peningkatan vaskularita pulmonal juga terdeteksi pada pemeriksaan ini. Echocardiografi dapat membantu mendeteksi keterlibatan endokardial, miokardial dan perikardial.

Infeksi GAS (Group A Streptokokus) sebelumnya (riwayat) :

Ada sejumlah penyakit yang mirip RHEUMATIC FEVER akut, dan TIDAK ada test laboratorium ataupun test lain yang memungkinkan diagnosa RHEUMATIC FEVER yang spesifik. Makanya penting sekali untuk mengetahui adanya infeksi streptokokus sebelumnya dalam bentuk adanya infeksi GAS pada tonsilofarings ataupun peningkatan titer antibosi terhadap streptokokus. Bukti adanya infeksi streptokokus sebelumnya dibuthkan untuk konfirmasi diagnosa awal akut RHEUMATIC FEVER.

Pada saat mendiagnosa RHEUMATIC FEVER akut, hanya 11% pasien mempunyai kultur tenggorok yang positif GAS. Sejumlah kecil kultur positif sebagian disebabkan eliminasi organisme oleh mekanisme pertahanan tubuh pasien(host) selama periode latent antara onset infeksi dan terjadinya RHEUMATIC FEVER kemudian. Beberapa “rapid GAS antigen detection tests” sekarang tersedia komersiel. Test tersebut metodologinya bervariasi. Sebagaian besar dari test tersebut mempunyai ‘spesifisitas yang tinggi’ tetapi ‘sensitifitas nya rendah’ . Test yang negatif TIDAK menyingkirkan adanya infeksi GAS di farings. Test kultur tenggorok yang positif ataupun rapid antigen test yang positif tidak dapat membedakan antara infeks yang baru)recent) yang dapat dikaitkan dengan RHEUMATIC FEVER akut dan carier organisme kronik.

Karena adanya GAS di farings tidak menggambarkan adanya infeksi aktif, maka peningkatan titer antibodi antistreptokokus memberi bukti yang lebih terpercaya akan adanya infeksi streptokokus yang baru (recent) daripada test kultur yang positif ataupu test rapid antigen yang positif. Test antibodi yang umumnya dipakai adalah “antistreptolysin O (ASO)” dan “antideoxyribonuclease B”(anti-DNase B). Titer dari kedua test tersebut dapat bertahan beberapa minggu atau beberapa bulan. Titer ASO (ASTO) biasnya diperoleh lebih dulu, dan bilamana tidak meningkat, maka ‘anti-DNase B test dilakukan. Titer ASO meningkat dan menurun lebih cepat daripada anti-DNase B. “Slide agglutination test” tersedia komersiel dan mengukur antibodi terhadap beberapa antigen streptokokus. Pemeriksaan tersebut mudah untuk dilakukan, cepat, dan tersedia luas; tetapi, test tersebut belum terstandarisasi dengan baik dan TIDAK reprodusible dan TIDAK direkomendasikan sebagai “definitive test” untuk membuktikan adanya infeksi GAS sebelumnya.


TERAPI :
UMUM :
Bila memungkinkan pasien dirawat di rumah sakit guna observasi dan management yang memadai. Bed rest dianggap sebagai bagian yang penting karena akan mengurangi rasa nyeri sendi. Lama bed rest ber-variasi dan individual. Rawat jalan dapat dilaksanakan bila demam menghilang dan ‘acute phase reactant’ sudah kembali ke normal. Pasien harus di-izinkan untuk menjalani kehidupan aktif dengan aktivitas fisik yang normal. Hindari aktivitas fisik yang berlebihan, khususnya bilamana ada carditis. Meski kultur hapusan tenggorok untuk GAS (Group A streptococcus) jarang positif pada saat onset demam rematik, pasien harus mendapat terapi penisilin selama 10 hari(10 days course). Bila pasien alergi terhadap penisilin, maka dapat di-terapi dengan erythromycin.

Bila terdapat gagal jantung, pasien harus mendapat diuretika, oksigen, dan digitalis dan dengan diet rendah garam. Preparat digitalis harus dipakai dengan hati-hati karena cardiac toxic dapat terjadi dengan dosis biasa.



TERAPI ANTIREUMATIK :
Tidak ada terapi yang spesifik bagi reaksi inflamasi yang dicetuskan oleh demam rematik. Terapi suportif ditujukan untuk ‘mengurangi gejala, mengontrol manifestasi toksik, dan memperbaiki fungsi jantung’.

Pasien dengan tidak ada karditis atau karditis ringan biasanya memberi respon baik dengan salisilat. Salisilat khususnya efektif dalam meredakan nyeri sendi; nyeri tersebut biasanya menghilang dalam 24 jam sejak pemberian salisilat. Sesungguhnya jika nyeri tetap ada setelah pemberian salisilat, maka diagnosa ‘demam rematik’ perlu diper-tanyakan, dan pasien tersebut perlu dievaluasi ulang. Karena tidak ada test yang spesifik bagi demam rematik, maka terapi anti inflamasi harus ditunda sampai gambaran klinis cukup jelas bagi diagnosa. Pemberian anti inflamasi terlalu dini dapat menekan manifestasi klinis dan menghalangi diagnosa yang tepat. Demi optimalnya efek anti-inflamasi, kadar serum salisilat yang dibutuhkan, sekitar 20 mg. Aspirin dengan dosis 100 mg/Kg/hari(Note kalau BB 50 kg = ….), diberikan dalam 4 sampai 5 kali sehari, biasanya akan memberi hasil kadar serum yang adekuat untuk mencapai respons klinis. Terapi salisilat yang optimal harus bersifat individual, guna mendapatkan respons yang adekuat serta menghindari toksisitas. Toksisitas salisilat yang sering terjadi berhubungan dengan dosis antara lain, tinnitus(telinga berdenging), mual, muntah dan anoreksia. Side efek akan menghilang setelah beberapa hari setelah terapi meski terapi tetap dilanjutkan.

Pasien-pasien dengan keterlibatan jantung – khususnya mereka dengan perikarditis atau gagal jantung kongestif – akan memberi respon lebih cepat terhadap kortikosteroid daripada dengan salisilat. Sesungguhnya, steroid lebih bersifat ‘life saving’ pada pasien yang sangat berat. Kadang-kadang, pasien yang tidak memberi respons pada dosis salisilat yang sudah adekuat dapat mendapat manfaat dengan pemberian coba-coba (trial course) corticosteroid. Dosis Prednison yang umum dipakai adalah , 1- 2mg/Kg/ hari.

Tidak ada bukti bahwa terapi salisilat ataupun kortikosteroid dapat mempengaruhi perjalanan penyakit dari karditis atau mengurangi insiden residual heart disease. Maka, lama terapi daengan anti-inflamasi hanya berdasarkan semata-mata perkiraan berat episode dan kecepatan dari respons klinis.

Serangan ringan dengan minimal atau tidak ada keterlibatan jantung dapat di-terapi dengan salisilat sekitar 1 bulan atau sampai ada bukti klinis atau laboratoris yang cukup menyatakan yang sudah tidak ada inflamasi lagi. Pada kasus yang lebih berat, terapi kortiksteroid dapat dilanjutkan sampai 2-3 bulan. Obat tersebut kemudian secara pelahan dikurangi dalam 2 minggu berikutnya. Meskipun dengan terapi yang berkepanjangan, beberapa pasien(sekitar 5%) akan tetap menunjukkan bukti aktivitas rematik selama 6 bulan atau lebih. Suatu fase “rebound” ditandai dengan munculnya kembali gejala ‘ringan’ atau ‘acute phase reactants’ dapat terjadi pada pasien setelah terapi anti-inflamasi dihentikan, biasanya dalam 2 minggu. Gejala yang sangat ringan biasanya akan menghilang tanpa terapi; gejala yang lebih berat membutuhkan terapi dengan salisilat. Beberapa dokter menganjurkan pemakaian salisilat (aspirin, 75 mg/kg/hari) selama periode dimana ‘kortikosteroid sedang di- tapering off’ dan meyakini bahwa pendekatan tersebut dapat mengurangi kemungkinan ‘rebound’.

Informasi mengenai pemakaian salisilat selain aspirin masih sangat sedikit(limited). Tidak ada bukti bahwa obat NSAIDs lebih efektif daripada aspirin. Pada pasien yang tidak dapat men-tolerir atau mereka yang alergi terhadap aspirin, trial penggunaan NSAIDs dapat dibenarkan. Preparat aspirin yang ‘coated’ atau mengandung’ buffer’ atau ‘alkali’, dapat juga dicobakan; terdapat sedikit bukti bahwa beberapa preparat tersebut dapat ditolerir lebih baik dan beberapa mempunyai side efek yang tidak diingini.

PENCEGAHAN :

Pencegahan Primer
Pencegahan primer demam rematik tergantung pada pengenalan dini dan pengobatan yang tepat dari GAS(Group A Streptococcus) tosilfaringitis. Eradikasi GAS dari teggorokan sangat penting. Meskipun terapi antimikrobial yang memadai dimulai sampai 9 hari setelah onset dari pharyngitis streptoccocus akut masih efektif dalam mencegah serangan primer demam rematik, dianjurkan terapi yang lebih dini karena akan menurunkan baik morbiditas maupun periode infeksi. Dalam memilih regimen terap faringitis GAS, berbagai faktor harus dipertimbangkan, antara lain efektifitas bakteriologis dan efektifitas klinis; kemudahan pemberian regimen (a.l. frekuensi pemberian per hari , palatibility/mudah dikunyah); biaya; spektrum dari obat yang dipilih; dan potensi side efek.

Penisilin merupakan antimikrobial yang terpilih (agent of choice) pada terapi GAS, kecuali bagi pasien dengan riwayat alergi terhadap penisilin. Penisilin mempunyai spektrum sempit, dan efektifitasnya sudah terbukti sejak lama , dan tidak mahal. GAS yang resisten terhadap penisilin belum tercatat. Penisilin dapat diberikan intramuskuler ataupun oral , tergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen oral.

Lebih disukai ‘benzatin penisilin G’ intramuskuler, khususnya pada pasien yang tidak memungkinkan me-lengkapi terapi -10 hari oral terapi dan pada pasien-pasien dengan seorang atau keluarga dengan riwayat RHEUMATIC FEVER atau RHD. Injeksi benzathin penicillin G harus diberikan dalam dosis tunggal pada otot yang tebal. Formulasi tersebut membuat rasa nyeri; injeksi yang berisikan ‘procaine penicilline’ dibanding dengan ‘benzathine penicillin G kurang memberi rasa nyeri . Rasa kurang nyaman dapat dikurangi dengan menghangatkan obat tersebut pada temperatur kamar sebelum di suntikkan.

Pilihan utama obat antibiotika oral (antibiotic of choice) adalah “penicillin V”(Phenoxymethyl Penicillin). Pasien harus memakai oral penisilin secara teratur dalam 10 hari penuh, meskipun sudah asimtomatik dalam beberapa hari eprtama. Meskipun antibiotika dengan spektrum lebih luas, amoksisilin sering digunakan untuk pengobatan ‘faringitis GAS’, obat tersebut secara mikrobilogis tidak lebih superior daripada penisilin.

Eritromisin oral dapat diberikan pada pasien yang alergi terhadap penisilin. Terapi harus dilaksanakan 10 hari. Erythromycine estolate (20 – 40 mg/kg/hari dalam 2 – 4 dosis terbagi), atau erythromycin ethyl succinate (40 mg/kg/hari dalam 2-4 dosis terbagi) sering efektif dalam mengobati faringitis streptokokus; tetapi, efektivitas dosis 2x sehari pada orang dewasa masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Dosis maksimal eritromisin adalah 1 gram perhari. Meskipun strain GAS yang resisten terhadap eritromisin , prevalen dibeberapa area didunia sehingga mengakibatkan kegagalan pengobatan, kasus resistensi tersebut jarang disebagian besar dari Amerika serikat.

Makrolide jenis baru, azithromycin mempunyai pola kepekaan terhadap GAS yang sama dengan eritromisin tetapi lebih sedikit menyebabkan side effeck gastrointestinal. Azithromycin dapat diberikan sekali sehari dan mengakibatkan konsentrasi yang tinggi pada tonsil. Pemberian azitromisin 5 hari (5 days course) di-approve oleg FDA dan sebagai terapikedua(second line) bagi pasien GAS faringitis yang berumur ≥ 16 tahun. Dosis yang dianjurkan adalah 500 mg dosis tunggal pada hari pertama diikuti dengan 250 mg sekali sehari untuk 4 hari berikutnya.

Pemberian Cephalosporin selama 10 hari(10 days course) dapat diterima sebagai alternatif, khususnya pada pasien alergi penisilin. Cephalosporin dengan spektrum yang lebih sempit, seperti cefadroxil atau cephalexin, mungkin lebih disukai daripada cephalosporin dengan spektrum lebih luas seperti cefaclor, cefuroxime,cefixime, dan cefpodoxime. Beberapa individu alergi penisilin (< 15%) juga alergi terhadap cephalosporins, dan obat-obat tersebut jangan diberikan pada pasien dengan “immediate (anaphylactic type) hypersensitivity” terhadap penisilin.

Beberapa laporan menunujukkan bahwa terapi -10 hari dengan cefalosporin oral lebih superior dari pada terapi 10 hari dengan oral penisilin dalam meng-eradikasi GAS dari farings. Laporan baru-baru ini menyatakan bahwa terapi 5 hari (5 days course) dengan cefalosporin oral terpilih sebanding dengan terapi 10 hari oral penisilin dalam meng-eradikasi GAS dari farings. Regimen tersebut saat ini BELUM di-approve oleh FDA, dan masih dibutuhkan penelitian lebih lanjut guna memperluas dan menegaskan observasi tersebut.

Antimikrobial tertentu TIDAK di-rekomendasi dalam terapi infeksi streptokosus saluran nafas atas. Tetracycline JANGAN dipakai karena tinngginya prevalensi strain yang resisten. Sulfonamides dan trimethoprim-sulfmethoxazole TIDAK meng-eradikasi GAS pada pasien faringitis dan JANGAN dipakai mengobati infeksi aktif. Chloramphenicol TIDAK direlkomendasi karena efektifitasnya unpredictable dan mempunyai potensi toksik.

Pencegahan sekunder (Note: yang dimaksud pencegahan sekunder =?):
Pasien-pasien dengan serangan RHEUMATIC FEVER sebelumnya yang mengalami infeksi pharingitis streptokokus, mempunyai risiko tinggi untuk mengalami serangan ulang RHEUMATIC FEVER. Infeksi GAS tidak mesti simtomatik untuk mencetuskan rekuransi(serangan ulang). Lebih lanjut, rekurens RHEUMATIC FEVER dapat terjadi bahkan infeksi simtomatik telah diobati dengan optimal(!). Karena alasan tersebut, pencegahan rekurensi RHEUMATIC FEVER lebih membutuhkan profilaksis antimikrobial daripada pengenalan(diagnosa) dan pengobatan episode akut faringitis streptokokus. Profilaksis yang terus menerus di-rekomendasikan bagi pasien-pasien dengan riwayat RHEUMATIC FEVER (termasuk kasus yang hanya terdapat Sydenham’s chorea saja) dan pada mereka dengan bukti nyata adanya RHD. Profilaksis tersebut harus segera dimulai bilamana terdiagnosa akut RHEUMATIC FEVER ataupun RHD. Terapi penisilin dengan penuh harus diberikan pertama kali pada pasien dengan akut RHEUMATIC FEVER untuk meng-eradikasi sisa GAS bahkan walau kultur tenggorokan negatif pada waktu itu. Infeksi streptokokus yang terjadi pada anggota keluarga lain dari pasien Reumatic harus segera di-obati.

CONTINUOUS ANTIMIKROBIAL PROPHYLAXIS:
Continuous antimicrobial prophylaxis memberi proteksi yang paling efektif rehadap rekurensi RHEUMATIC FEVER. Risiko terjadinya rekurensi tergantung pada banyak faktor. Rsiko rekurensi akan meningkat dengan terdapatnya serangan ulan sebelumnya, sedangkan risiko akan menurun bilaman interval sejak serangan sebelumnya makin panjang. Kemungkinan menderita infeksi streptokokus saluran nafas atas merupakan suatu pertimbangan yang penting. Pasien-pasien dengan eksposure terhadap infeksi streptokokus seperti anak-anak dan dewasa muda, orang tua dari anak anak kecil, guru, dokter, perawat, dan personel kesehatan yang berkontak dengan anak-anak, rekrutmen militer, dan lain-lain seperti tinggal dirumah yang berjejalan. Juga dijumpai risiko yang tinggi pada populasi dengan ekonomi rendah.

Dokter harus memperhitungkan situasi individual dalam memnentukan lama melaksanakan profilaksis yang memadai. Pasien-pasien dengan karditis rematika mempunyai risiko yang relatif tinggi untuk mengalami rekurensi karditis dan kemungkinan besar untuk mengalami keterlibatan jantung yang berat pada setiap rekurens Maka, pasien-pasien yang menderita karditis rematika HARUS mendapat ‘profilaksis antibiotika jangka panjang’, mungkin seumur hidupnya. Lama dari profilaksis tergantung apakah ada atau tidaknya ‘residual valvular disease’. Profilaksis harus dilanjutkan bahkan setelah dilakukan ‘terapi operatif katub, termasuk juga setelah penggantian katub prostetik. Pasien-pasien yang menderita RHEUMATIC FEVER tanpa karditis diperkirakan mempunyai risiko yang lebih kecil untuk mengalami keterlibatan jantung sewaktu rekurensi. Maka, profilaksis dapat dihentikan pada individu tersebutsetelah beberapa tahun. Umumnya, profilaksis harus dilanjutkan sampai 5 tahun sejak serangan RHEUMATIC FEVER terakhir atau setelah berumur 21 tahun, yang mana lebih dulu dicapai. Keputusan untuk menghentikan profilaksis atau memulai kembali harus di-diskusikan dengan pasien tentan potensi risiko dan manfaatnya dan pertimbangan risiko epidemiologis yang disebut diatas.

Injeksi 1.200.000 unit preparat long acting penicillin setiap 4 minggu adalah regimen yang di-rekomendasi untuk prevensi sekunder pada banyak kasus di Amerika Serikat. Di negara-negara dimana insidens RHEUMATIC FEVER tinggi, dalam keadaan khusus, dianjurkan pemberian ‘benzathine penicillin G’ setiap 3 minggu . Long acting penicillin khususnya sangat bernilai pada pasien-pasien yang berisiko ringgi terjadi rekurensi RHEUMATIC FEVER. Manfaat pemberian benzathine penicillin G melebihi rasa tidak menyenangkan dan nyeri pada pasien yang sering berakibat penghentian injeksi profilaksis tersebut pada beberapa pasien.

Kesuksesan profilaksis oral terutama tergantung pada kepatuhan pasien terhadap regimen yang di resepkan. Pasien butuh instruksi yang teliti dan ber-ulang ulang tentang pentingnya terapi profilaksis yang berkesinambungan tersebut. Sebagian besar dari kegagalan profilaksis diakibatkan oleh ketidak patuhan pasien. Bahkan walaupun tingkat kepatuhan pasien yang optimal risko rekurensi tetap tinggi pada pasien yang memakai profilaksis oral dibandingkan dengan mereka yang mendapat injeksi benzathine penicillin G. Obat-obat oral lebih cocok pada pasien yang mempunyai risiko rendah rekuransi RHEUMATIC FEVER. Sesuai dengan itu, maka beberapa dokter men-switch ke oral profilaksi ketika pasien telah mencapai usia dewasa muda dan mereka yang tidak terkena serangan rekurensi sejak 5 tahun terakhir.

Penicllin V merupakan obat yang lebih disukai. Belum ada data tentang penggunaan penicillin jenis lain, makrolide, ataupun cephalosporin untuk prevensi sekunder RHEUMATIC FEVER. Meskipun sulfonamide tidak efektif untuk eradikasi GAS, obat tersebut dapat mencegah infeksi. Sulfadiazine dan sulfisoxazole tampaknya ekuivalen; Pemakaian sulfixazole dapat diterima berdasarkan kesimpulan dari data bahwa sulfadiazine telah terbukti efektif dalam prevensi sekunder. Dosis yang direkomendasi dari sulfisoxazole sama dengan sulfadiazine. Sulfonamide profilaksis merupakan kontraindikasi pada kehamilan lanjut karena ia dapat melintasi plasenta dan mempunyai potensi kompetisi dengan bilirubin terhadap ‘albumin-binding sites’.Eritromisin di-rekomendasikan bagi pasien-pasien yang alergi terhadap penisilin dan sulfixazole.

Profilaksis terhadap Endokarditis bakterial :
Pasien-pasien dengan ‘rheumatic valvular heart disease’(penyakit jantung katub akibat rematik) juga memerlukan terapi tambahan suatu profilaksis ‘antibiotika jangka pendek’ sebelum dilaksanakannya operasi dan prosedur-prosedur gigi guna mencegah terjadinya ‘endokarditis bakterial’. Pasien-pasien khususnya dengan katub prostetik atau riwayat endokarditis sebelumnya merupakan pasien dengan risiko tinggi untuk endokaritis bakterial. Regimen antibiotika yang dipakai dalam pencegahan rekurensi RHEUMATIC FEVER akut, TIDAK ADEKWAT untuk pencegahan endokarditis bakterial. Ekomendasi AHA (American Heart Association)untuk pencegahan endokarditis bakterial saat ini harus diikuti. Karena alpha-hemolytic stretococci pada oropharynx dapat menjadi resisten terhadap penisilin oral yang sedang dipakai untuk pencegahan sekunder RHEUMATIC FEVER, maka obat yang dipilih untuk pencegahan endokarditis haruslah BUKAN penicilin. Pasien yang pernah menderita tetapi tidak terbukti mempunyai ‘rheumatic heart disease’ TIDAK memerlukan profilaksis terhadap endokarditis.


TABEL 55-3 : PANDUAN DIAGNOSIS UNTUK SERANGAN PERTAMA
RHEUMATIC FEVER( KRITERIA JONES, UPDATED 1992)

MANIFESTASI MAJOR MANIFESTASI MINOR

Carditis Klinis:
Polyarthritis Artralgia
Chorea Demam
Erytema marginatum Hasil Pemeriksaan Laboratorium:
Subcutaneous nodules Peningkatan ‘acute phase reactants:
LED
C-reactive protein (Crp)
Pemanjangan Interval P-R



Bukti Penunjang adanya Infeksi Streptokokus Grup A sebelumnya :
Kultur hapusan tenggorok positip atau rapid antigen test yang positip
Peningkatan Titer antibodi streptokokus.

Dari: Dajani A.S., Ayoub, E. M., Bierman, F.Z., et al.:
Guidelines for the diagnosis of rheumatic fever: Jones Criteria,
Updated 1992. JAMA 268: 2069, 1992. Copyright 1992 American Medical Association.


TABEL 55-4 PENCEGAHAN RHEUMATIC FEVER:

AGENT DOSE MODE DURATION

PENCEGAHAN PRIMER :

Benzathine Pen G 600.000 unit bagi IM sekali
Pasien ≤ 27 kg
1.200.000 unit bagi
Pasien > 27 kg
ATAU
Penicillin V Anak2: PO 10 hari
250 mg 2-3 kali/hari
Remaja dan dewasa:
500 mg 2-3 kali/hari
Bagi pasien yang alergi terhadap Penicllin:

Erythromycin 40 mg/kg/hari PO 10 hari
2-4 kali/hari
(maksimum 1 gr/hari)

PENCEGAHAN SEKUNDER:
Benzathine Pen G 1.200.000 unit setiap IM Lht tabl 5
4 minggu
ATAU:
Penicillin V 250 mg 2 kali sehari PO Lht tabl 5
ATAU
Sulfadiazine 0,5 gr sekali sehari bagi PO lht tabl 5
Pasien ≤ 27 kg (60 lb)
1 gr sekali sehari bagi
Pasien > 27 kg (60 lb)
Bagi pasien alergi terhadap penicilin atau Sulfadiazine:
Erythromycin 250 mg duakali sehari PO Lht tabl 5.





TABEL 55-5 LAMA PENCEGAHAN SEKUNDER PADA PASIEN RHEUMATIC FEVER :



KATEGORI LAMA PENGOBATAN

Rheumatic fever dgn carditis dan Minimal 10 tahun setelah episode terakhir dan
residual penyakit valvular minimal sampai umur 40.
Kadang-kadang pencegahan seumur hidup.

Rheumatic fever dgn carditis tetapi 10 tahun atau sampai masuk usia dewasa, yang
TIDAK ada residual penyakit valvular mana lebih lama .

Rheumatic fever tanpa carditis 5 tahun atau sampai umur 21 tahun, yang mana lebih lama.
(Dr. AGOES)