Minggu, 11 Oktober 2015

Respon Imun VS Sel Tumor



Respon imun bila terdapat sel tumor di dalam tubuh.
Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya bersifat  resistensi relatif terhadap suatu mikroorganisma, resistensi terbentuk berdasarkan respons imunologik. Selain membentuk resistensi terhadap suatu infeksi, respons imun juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit.
Oleh karena itu respons imun mencakup pengertian pengaruh zat atau benda asing bagi suatu mahluk hidup, dengan segala rangkaian kejadian yang melibatkan sistem retikuloendotelial. Maksunya, meliputi netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat asing tersebut dengan atau tanpa akibat berupa gangguan pada mahluk hidup yang bersangkutan.

Masuknya suatu zat asing  ke dalam suatu mahluk hidup akan menimbulkan berbagai reaksi yang bertujuan mempertahankan keutuhan dirinya. Untuk ini, manusia memiliki mekanisme imunologik disamping mekanisme fagositosis.

Zat asing yang bersifat antigen (Ag) masuk ke dalam tubuh manusia dan oleh makrofag atau monosit mengalami fagositosis. (Lihat gambar 48.1).
Sifat anti genik dibedakan dengan sifat imunogenik. Maksud sifat  imunogenik  sebagai daya respons imun, sedangkan sifat antigenik adalah daya bereaksi khusus dengan antibodi (Ab) yang sesuai dengan suatu zat. Ag yang tidak mengalami fagositosis oleh makrofag dapat bersifat imunogenik.

Selanjutnya makrofag akan berhubungan dengan sel imunokompeten yaitu sel limfoid dari sistem retikuloendotelial. Antigen yang telah diaktifkan oleh sel plasma akan merangsang sel limfoid dalam proses imunologik selanjutnya. Sel limfosit terdiri dari dua jenis sel, yaitu sel B dan sel T.

Pada kontak pertama, di bawah pengaruh sel rangsang Ag, sel B akan berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi sel plasma yang menghasilkan Ab reaksi imun humoral, sedangkan sel T (thymus derived) akan menjadi sel T yang tersensitisasi, yang menghasilkan lymphokines, reaksi imun seluler. Sel plasma merupakan sel penghasil Ab yang lebih efisien, dibanding dengan sel B. Hal ini terlihat pada ultrastruktur sel plasma tersebut. Disamping itu, diferensiasi dan proliferasi sel B dan T juga menghasilkan sel memori.

Pada kontak ulang dengan Ag yang sesuai sel memori tersebut akan lebih cepat berproliferasi menjadi sel plasma dan sel T yang tersensitisasi.
Secara histologis , sel ini dikenal sebagai sel pironinofilik (mengikat zat warna pironin) yang berukuran besar dan diduga merupakan sel prekursor linfosit.

Sel T merangsang sel B untuk berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel penghasil Ab. Jadi, disamping peranannya dalam respons imun selular, sel T juga mempengaruhi  sel B berkembang menjadi menjadi sel penghasil Ab.
Jadi, disamping peranannya dalam respons imun selular, sel T juga mempengaruhi  sel B berkembang menjadi sel penghasil Ab. Antigen yang melibatkan sel T ini dinamakan Ag dependen Timus (thymus dependent antigens) yang biasanya berbentuk konjugat hapten-protein.

Menurut teori cell surveillance, sel T mampu mengenal protein pembawa (carrier specific protein). Sedangkan sel B mampu mengenal hapten (hapten specific). Beberapa Ag alamiah bersifat independent timus (Thymus independent antigens), misalnya polisakarida pneumokokus dan endotoksin bakteri karena dapat merangsang sel B dengan atau tanpa bantuan sel T untuk bertransformasi menjadi sel penghasil Ab.

Kesanggupan sel limfosit untuk dirangsang oleh  Ag imunogenik ditentukan oleh sifat genetik sel. Akibatnya, setiap sel B hanya mampu menghasilkan satu jenis sel Ab saja. Sekelompok  sel B sejenis disebut Klon.
Bahwa terdapat berbagai klon yang masing-masing dapat bereaksi hanya dengan satu jenis Ag saja adalah prinsip dari teori seleksi klon (klonal selection theory) (lihat gambar 48.2)

Ab specific dapat mengikat Ag yang sesuai, sehingga terbentuk komplek Ag-Ab. Selanjutnya dapat timbul berbagai peristiwa biokimiawi pada Ag yang bersangkutan, umpamanya :
- Presipitasi ( terhadap Ag yang larut)
- Aglutinasi (terhadap Ag yang berupa partikel)
- Inaktivasi (terhadap virus, toksin)
- Lisis (terhadap eritrosit) ataupun
- Fegositosis (terhadap bakteri).
Dalam keadaan tertentu, komplek Ag-Ab akan melibatkan sistem komplemen dalam respons imun. Dengan fiksasi berbagai komponen, komplemen, akan terjadi lisis terhadap eritrosit atau peningkatan terjadinya fagositosis oleh makrofag.
Jadi, jelaslah bahwa apabila Ag-nya merupakan salah satu komponen jaringan tubuh, maka akan terjadi pengrusakan jaringan tersebut.

Pada sistem respons imun selular diperlukan interaksi kuat antara sel T dengan Ag imunogenik yang telah mengalami proses dalam makrofag.

Patogenesis penyakit berdasarkan respons imun selular dimulai dengan interaksi Ag spesifik dengan sel T yang tersensitisasi. Akibat interaksi tersebut sel T yang tersentisisasi akan membebaskan limfokin, yaitu berbagai faktor terlarut misalnya faktor transfer (TF) , faktor penghambat migrasi (migration inhibitory factor, MIF), faktor kemotaksis (Chemotactic Factor/CF), faktor aktivasi makrofag (macrophage activating factor, MAF) dan sebagainya.

Faktor-faktor ini mengakibatkan antara lain terkumpulnya makrofag disekitar tempat pelepasan MIF, dan aktifasi fagositosis makrofag tersebut oleh MAF, Karena kerjanya yang non spesifik, maka makrofag teraktivasi (activated macrophages) ini tidak hanya menghancurkan Ag spesifiknya, tetapi Ag lainnya dan sel-sel tubuh normal sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.

Penyakit yang patogenesisnya dapat dijelaskan berdasarkan reaksi imunologik dapat dibagi dalam tiga kelompok, berdasarkan asal/sifat anti gennya :
  1. Penyakit akibat Ag eksogenik, misalnya : Asma bronkial, urtikaria dan penyakit serum yang umumnya dikenal dengan reaksi alergi.
  2. Penyakit akibat Ag homolog, misalnya reaksi transfusi darah, reaksi penolakan pada bedah cangkok. Dan
  3. Penyakit akibat Ag autolog, yang disebut penyakit auto imun. Misalnya penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE), tiroiditis, glomerulonefritis.
  
 (Sulistia G. GanisWarna (editor), Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995. Hal. 701)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar