Respon imun bila terdapat
sel tumor di dalam tubuh.
Dalam ilmu kedokteran, imunitas pada mulanya bersifat resistensi
relatif terhadap suatu mikroorganisma, resistensi terbentuk berdasarkan
respons imunologik. Selain membentuk resistensi terhadap suatu infeksi, respons
imun juga dapat mengakibatkan terjadinya berbagai penyakit.
Oleh karena itu respons imun mencakup pengertian pengaruh zat atau benda
asing bagi suatu mahluk hidup, dengan segala rangkaian kejadian yang melibatkan
sistem retikuloendotelial. Maksunya,
meliputi netralisasi, metabolisme ataupun penyingkiran zat asing tersebut
dengan atau tanpa akibat berupa gangguan pada mahluk hidup yang bersangkutan.
Masuknya suatu zat asing ke dalam
suatu mahluk hidup akan menimbulkan berbagai reaksi yang bertujuan
mempertahankan keutuhan dirinya. Untuk ini, manusia memiliki mekanisme
imunologik disamping mekanisme fagositosis.
Zat asing yang bersifat antigen (Ag) masuk ke dalam tubuh manusia dan oleh
makrofag atau monosit mengalami fagositosis. (Lihat gambar 48.1).
Sifat anti genik dibedakan dengan sifat imunogenik. Maksud sifat imunogenik sebagai
daya respons imun, sedangkan sifat
antigenik adalah daya bereaksi khusus
dengan antibodi (Ab) yang sesuai dengan suatu zat. Ag yang tidak mengalami
fagositosis oleh makrofag dapat bersifat imunogenik.
Selanjutnya makrofag akan berhubungan dengan sel imunokompeten yaitu sel limfoid dari sistem retikuloendotelial.
Antigen yang telah diaktifkan oleh sel plasma akan merangsang sel limfoid dalam proses imunologik selanjutnya. Sel limfosit terdiri dari dua jenis
sel, yaitu sel B dan sel T.
Pada kontak pertama, di bawah pengaruh sel rangsang Ag, sel B akan
berdiferensiasi dan berproliferasi menjadi
sel plasma yang menghasilkan Ab reaksi imun
humoral, sedangkan sel T (thymus
derived) akan menjadi sel T yang tersensitisasi, yang menghasilkan lymphokines, reaksi imun seluler. Sel
plasma merupakan sel penghasil Ab yang lebih efisien, dibanding dengan sel B.
Hal ini terlihat pada ultrastruktur sel plasma tersebut. Disamping itu,
diferensiasi dan proliferasi sel B dan T juga menghasilkan sel memori.
Pada kontak ulang dengan Ag yang sesuai sel memori tersebut akan lebih
cepat berproliferasi menjadi sel plasma
dan sel T yang tersensitisasi.
Secara histologis , sel ini dikenal sebagai sel pironinofilik (mengikat zat
warna pironin) yang berukuran besar dan diduga merupakan sel prekursor
linfosit.
Sel T merangsang sel B untuk berproliferasi dan bertransformasi menjadi sel
penghasil Ab. Jadi, disamping peranannya dalam respons imun selular, sel T juga
mempengaruhi sel B berkembang menjadi
menjadi sel penghasil Ab.
Jadi, disamping peranannya dalam respons imun selular, sel T juga
mempengaruhi sel B berkembang menjadi
sel penghasil Ab. Antigen yang melibatkan sel T ini dinamakan Ag dependen Timus
(thymus dependent antigens) yang biasanya berbentuk konjugat hapten-protein.
Menurut teori cell surveillance, sel T mampu mengenal protein pembawa
(carrier specific protein). Sedangkan sel B mampu mengenal hapten (hapten specific).
Beberapa Ag alamiah bersifat independent timus (Thymus independent antigens),
misalnya polisakarida pneumokokus dan endotoksin bakteri karena dapat
merangsang sel B dengan atau tanpa bantuan sel T untuk bertransformasi menjadi
sel penghasil Ab.
Kesanggupan sel limfosit untuk dirangsang oleh Ag imunogenik ditentukan oleh sifat genetik
sel. Akibatnya, setiap sel B hanya mampu menghasilkan satu jenis sel Ab saja.
Sekelompok sel B sejenis disebut Klon.
Bahwa terdapat berbagai klon yang masing-masing dapat bereaksi hanya dengan
satu jenis Ag saja adalah prinsip dari
teori seleksi klon (klonal selection
theory) (lihat gambar 48.2)
Ab specific dapat mengikat Ag yang sesuai, sehingga terbentuk komplek
Ag-Ab. Selanjutnya dapat timbul berbagai peristiwa biokimiawi pada Ag yang
bersangkutan, umpamanya :
- Presipitasi ( terhadap Ag yang larut)
- Aglutinasi (terhadap Ag yang berupa partikel)
- Inaktivasi (terhadap virus, toksin)
- Lisis (terhadap eritrosit) ataupun
- Fegositosis (terhadap bakteri).
Dalam keadaan tertentu,
komplek Ag-Ab akan melibatkan sistem komplemen dalam respons imun. Dengan fiksasi berbagai komponen,
komplemen, akan terjadi lisis terhadap eritrosit atau peningkatan terjadinya
fagositosis oleh makrofag.
Jadi, jelaslah bahwa apabila
Ag-nya merupakan salah satu komponen jaringan tubuh, maka akan terjadi
pengrusakan jaringan tersebut.
Pada sistem respons imun selular diperlukan interaksi kuat antara sel T
dengan Ag imunogenik yang telah
mengalami proses dalam makrofag.
Patogenesis penyakit berdasarkan respons imun selular
dimulai dengan interaksi Ag spesifik dengan sel T yang tersensitisasi. Akibat interaksi tersebut sel T yang tersentisisasi
akan membebaskan limfokin, yaitu
berbagai faktor terlarut misalnya faktor transfer (TF) , faktor penghambat
migrasi (migration inhibitory factor, MIF), faktor kemotaksis (Chemotactic Factor/CF), faktor aktivasi makrofag
(macrophage activating factor, MAF) dan sebagainya.
Faktor-faktor ini mengakibatkan antara lain terkumpulnya makrofag disekitar
tempat pelepasan MIF, dan aktifasi
fagositosis makrofag tersebut oleh MAF, Karena kerjanya yang non spesifik,
maka makrofag teraktivasi (activated
macrophages) ini tidak hanya menghancurkan Ag spesifiknya, tetapi Ag
lainnya dan sel-sel tubuh normal sehingga menimbulkan kerusakan jaringan.
Penyakit yang patogenesisnya
dapat dijelaskan berdasarkan reaksi imunologik dapat dibagi dalam tiga
kelompok, berdasarkan asal/sifat anti gennya :
- Penyakit akibat Ag eksogenik, misalnya
: Asma bronkial, urtikaria dan penyakit serum yang umumnya dikenal dengan
reaksi alergi.
- Penyakit akibat Ag homolog, misalnya
reaksi transfusi darah, reaksi penolakan pada bedah cangkok. Dan
- Penyakit akibat Ag autolog, yang disebut
penyakit auto imun. Misalnya
penyakit lupus eritematosus sistemik (SLE), tiroiditis, glomerulonefritis.
(Sulistia G. GanisWarna (editor),
Farmakologi dan Terapi, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1995. Hal.
701)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar